Jakarta, Aktual.co — Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus fokus memperkuat lumbung pangan perikanan, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memulihkan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.
Menurutnya, keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiaastuti membuka data perizinan kapal ikan adalah terobosan besar yang patut mendapat apresiasi dan dukungan.
Menurut Riza, sesuai UUD 1945, UU Perikanan dan Nawacita bahwa usaha perikanan (indikatornya) bukan semata-mata bisnis, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan ekspor.
Paling utama adalah terpenuhi pangan rakyat, terciptanya lapangan pekerjaan baru, meningkatnya kesejahteraan nelayan, semakin pulihnya lingkungan dan adab kebaharian bangsa serta kuatnya kedaulatan Indonesia di laut.
Untuk itulah, kata dia, gebrakan diawal kepemimpinan, ia mengatakan perlu terus dijaga semangat dan konsistensinya.
Operasionalisasinya tiga hingga enam bulan ke depan, menurut Riza, pertama adalah pemberantas pencurian ikan. Rencana MKP melakukan moratorium harus diikuti dengan tiga strategi operasional, yakni mulailah dengan memeriksa kapal ikan bekas asing karena meski dapat izin dari KKP masih ada kapal tersebut masih menggunakan ABK asing dan mendaratkan ikannya di luar negeri.
KKP dapat mengecek kesesuaian bobot (gross ton/GT) kapal dengan izin yang dipegang oleh pengusaha. Dari sini akan diketahui praktik “unreported” baik bobot kapal, jumlah ikan yang dilaporkan, termasuk kebocoran BBM bersubsidi.
Lalu KKP, dia mengatakan, juga dapat memantau jumlah izin dengan realisasi pembangunan Unit Pengolahan Ikan (UPI). Maka akan diketahui sederet perusahaan yang tidak menjalankan hilirisasi produk perikanan sesuai prasyarat perizinan.
“Jika ketiganya dilakukan berpotensi menyelamatkan sekurang-kurangnya Rp1,3 triliun PNBP,” kata Riza di Jakarta, Minggu (2/11).
Hal kedua yang harus dikerjakan KKP, lanjutnya, yakni mensubsidi BBM bagi nelayan kecil diteruskan. KNTI mendukung pencabutan subsidi bagi kapal dengan bobot lebih dari 30 GT. Tapi tidak bagi nelayan kecil dengan kapal di bawah 30 GT.
Selain nilai subsidinya terbilang kecil dibanding subsidi BBM keseluruhan, sekitar 60–70 persen konsumsi ikan domestik adalah tangkapan nelayan kecil. Apalagi kehadiran negara juga belum optimal di kampung nelayan di mana informasi cuaca, harga dan lokasi penangkapan ikan belum sampai ke kampung nelayan.
“Akibatnya nelayan melaut penuh ketidakpastian, berburu, spekulatif, hingga tidak efisien dalam penggunaan BBM karena sekitar 60–70 persen ongkos produksi untuk beli BBM. Sentuhan teknologi atau layanan informasi bagi nelayan dibutuhkan untuk menekan ongkos BBM hingga 30–40 persen,” kata Riza.
Hal ketiga yang perlu dilakukan KKP, yaitu membenahi infrastruktur distribusi BBM di kampung nelayan. Saat ini sebagian besar kampung nelayan tidak memiliki penyalur resmi BBM sehingga harga di kampung nelayan selalu lebih tinggi dari yang ditetapkan.
Maka pemerintah harus membangun infrastruktur penyalur BBM terlebih dahulu sehingga harga beli BBM oleh nelayan sama dengan yang dinikmati seluruh rakyat.

Artikel ini ditulis oleh: