Karenanya, butuh terobosoan yang bersifat perdata, berupa perjanjian pengembalian aset dalam program MSAA di bulan September 1998. “Para obligor merasa perlu kepastian hukum tidak dikejar oleh aparat hukum jika rezim pemerintahan berganti, mata dikeluarkanlah oleh pemerintah saat itu release and discharge.”

Dalam kasus Sjamsul Nursalim di Bank BDNI, kata dia sudah dikeluarkan release and discharge pada tanggal 25 Mei 1999. “Kemudian pada tahun 2002, berdasarkan UU Propenas, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002, yang menjadi dasar penerbitan SKL oleh BPPN. SKL ini pun hanya menyempurnaan dari release and discharge yang sudah keluar tahun 1999.”

Dalam hukum, persoalan perdata itu harus diselesaikan dulu perdatanya, istilahnya prejudiciel geschill bukan langsung mempidanakan. Saya pernah sampaikan, menyangkut masalah yang terkait pasal 81 KUHP, memberi kewenangan kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu petusan hakim perdata mengenai persengketaan. Hal ini sudah diatur di dalam surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 1980.

Bahkan menurut Maqdir, sekitar bulan Oktober 1998, pemerintah sudah melaporkan kepada International Monetery Fund dimana Indonesia terikat dengan Letter of Intents yang mengatakan pemerintah bersepakat untuk menyelesaikan kewajiban para obligor BLBI di bawah Badan Penyehatan Perbankkan Nasional BPPN dengan penyelesaian secara perdata. Ini pun sudah disetujui oleh IMF.

Dalam situasi negara atau pemerintah sudah menundukan diri secara perdata berupa MSAA, maka pemerintah dan warga negara harus tunduk untuk saling mematuhinya. “Jika ingin mengubahnya, maka batalkan dulu keputusan politiknya dan yang bisa membatalkan MSAA hanya lewat putusan pengadilan atau melalui lembaga arbitrase, karena sudah berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Jadi tidak bisa serampangan karena kedua pihak terikat dalam perjanjian MSAA.”

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu