Dalam negara demokrasi yang menghormati prinsip supremasi sipil, lanjutnya, pembentukan perpres dan undang-undang sepenuhnya berada di tangan otoritas sipil.

“Karena itu, sepatutnya TNI tunduk pada kebijakan otoritas sipil dan melaksanakan kebijakan tersebut. TNI tidak seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang berupaya mendorong proses pengesahan perpres. Jika TNI memiliki padangan terkait perpres, seharusnya padangan tersebut disampaikan ke dalam pemerintahan dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan bukan disampaikan kepada publik, apalagi diduga sampai melobi ke DPR,” jelasnya.

Fait accompli TNI terhadap pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, kata dia, merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil utuk mengesahkan rancangan perpres tersebut.

Sementara rancangan perpres tersebut masih dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.

“Langkah-langkah politik TNI dalam memengaruhi rancangan perpres sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi mengingat TNI memiliki monopoli atas penggunaan senjata dan kekuatan koersif. Kami memandang bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme memang dimungkinkan, tetapi akuntabilitas hukumnya harus tunduk pada sistem peradilan pidana umum,” katanya.

“Pelibatan militer dimungkinkan untuk menghadapi ancaman terorisme yang sifatnya nyata (imminent threat) dimana ancaman terorisme mengancam kedaulatan negara yang kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi aksi terorisme (last resort) dengan dasar keputusan politik negara bukan perintah presiden,” tuturnya lagi.

Koalisi Masyarakat sipil juga menilai perlu ditekankan bahwa pelbagai kritikan dalam Rancangan Perpres ini berkaitan dengan upaya menjaga reformasi TNI tetap berada di jalurnya, bukan berbasis overdosis HAM ataupun over supremasi sipil.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid