proyek reklamasi merampas ruang hidup masyarakat di pantai utara Jakarta. Hal ini tentunya membuat penghasilan para nelayan turun drastis.

Jakarta, Aktual.com — Peraturan Pemerintah (PP) No. 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai dibuat tanpa melibatkan nelayan tradisional.

“Pemerintah, melalui PP No. 75/2015 bermaksud meningkatkan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan. Peraturan ini dikeluarkan tanpa melibatkan partisipasi nelayan dan masyarakat pada umumnya,” kata Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) M Riza Damanik di Jakarta, Minggu (1/11).

Menurut Riza Damanik, hal tersebut dapat berpotensi mengakibatkan bertentangan dengan peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya, bahkan bertabrakan dengan strategi kesejahteraan nelayan yang dijanjikan pemerintah.

Ketum KNTI berpendapat, PP No. 75/2015 dapat memicu maraknya kembali penggunaan “trawl” di perairan Indonesia melalui pemberlakuan pungutan PNBP terhadap alat tangkap jenis “trawl”.

“Padahal, secara legal formal, penggunaan alat tangkap jenis ‘trawl’ telah dilarang beroperasi di perairan Indonesia sesuai Keppres No.39/1980 dan UU No.31 Tahun 2004,” katanya.

Dia mengingatkan bahwa penggunaan “trawl” telah terbukti merusak lingkungan, memperparah jurang ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, bahkan memunculkan konflik berkepanjangan antara kapal pengguna “trawl” dengan nelayan-nelayan tradisional.

Selain itu, Riza juga menyatakan PP No. 75/2015 telah sengaja melegitimasi privatisasi dan komersialisasi perairan pulau-pulau kecil terluar kepada asing dengan memberlakukan pungutan PNBP terhadap izin pemanfaatan perairan Pulau-pulau Kecil Terluar dan izin pemanfaatan Pulau-pulau Kecil oleh Penanaman Modal Asing.

Ketum KNTI berpendapat hal itu selain bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan Putusan MK No.3/PUU-VIII/2010 terkait Uji Materil UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mensyaratkan kekayaan sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, juga berpotensi membahayakan kedaulatan negara dan menyingkirkan nelayan tradisional dari ruang hidup dan penghidupannya.

PP No. 75/2015 telah menjadi stimulus perluasan praktik serampangan pembangunan reklamasi pantai dengan memberlakukan pungutan PNBP dari izin pelaksanaan reklamasi komersil baru, izin pelaksanaan reklamasi komersil perpanjangan, izin pelaksanaan reklamasi non komersil baru, dan izin pelaksanaan reklamasi non komersil perpanjangan.

“Celakanya lagi, pungutan PNBP justru dikeluarkan disaat pemerintah belum memastikan terlaksananya perlindungan hak-hak nelayan tradisional dan masyarakat adat dalam penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maupun Tata Ruang Laut Nasional,” katanya.

Menurut dia, PP No. 75/2015 telah menunjukkan corak kebijakan ekonomi kelautan dan perikanan ke depan hanya dapat berhasil dalam skala kegiatan usaha bermodal besar.

Untuk itu, KNTI berpendapat PP No. 75/2015 berpotensi melemahkan aktivitas ekonomi perikanan nasional, menyingkirkan nelayan dari ruang hidup dan penghidupannya, bahkan dapat mengembalikan perairan Indonesia marak pencurian ikan.

KNTI meminta segera dilakukan revisi dengan mempertimbangkan situasi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, serta tujuan mendasar dari pengelolaan perikanan nasional, serta meninjau ulang berbagai pengaturan perikanan dan kelautan yang dibuat tanpa adanya partisipasi publik dan tidak mengarah kepada solusi positif.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan