Jakarta, Aktual.com — Ketua Dewan Perwakilan Wilayah DKI Jakarta, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Muhammad Tohir, mengungkapkan terungkapnya kasus suap yang dilakukan anggota DPRD DKI dengan pengusaha reklamasi membuktikan adanya ketidakberesan dalam pemberian izin reklamasi oleh Pemprov DKI Jakarta.
Satu-satunya jalan agar dikemudian hari tidak lagi terjadi upaya suap oleh pengembang adalah dengan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
“Dengan terkuaknya masalah ini, ada suap terhadap anggota dewan oleh pengusaha yang akan melakukan proyek, satu-satunya jalan ini harus diberhentikan pembahasan Raperda Zonasi,” terang Tohir kepada Aktual.com, Sabtu (2/4).
“Kalau disepakati, ini akan jadi ancaman untuk negara. Kami apresiasi kerja KPK yang berani menguak adanya permainan dalam pembahasan Raperda Zonasi. KNTI akan terus mendorong agar reklamasi dihentikan, karena imbasnya sangat besar bagi masyarakat pesisir,” lanjutnya.
Disampaikan, terjadinya suap yang dilakukan pengembang terhadap anggota DPRD dalam pembahasan Raperda Zonasi sebenarnya sedari awal dikhawatirkan KNTI. Sebab dari awal diterbitkannya izin reklamasi dari Pemprov DKI Jakarta, KNTI menemukan sejumlah kejanggalan.
Kekhawatiran juga berlaku saat Pemprov DKI mengusulkan pembahasan Raperda Zonasi ke DPRD DKI Jakarta. Seakan-akan, raperda dibuat untuk melindungi nelayan dan masyarakat pesisir, padahal yang sebenarnya berkebalikan.
“Faktanya, sampai hari ini semua dibuat abu-abu, dibuat gelap, berdalih Raperda disampaikan dan dirancang untuk nelayan, faktanya itu sangat-sangat berdampak pada kehidupan nelayan,” jelasnya.
Kamis (31/3) kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kasus suap pembahasan Raperda Zonasi. Dari OTT tersebut, KPK menetapkan tiga tersangka masing-masing M Sanusi dari DPRD DKI dan dua dari pengembang PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja selaku Presiden Direktur PT APL dan Trinanda Prihantoro selaku karyawan PT APL.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby