“KPK bahkan menyatakan seluruh 28 proyek reklamasi tersebut diindikasikan melanggar peraturan prosedur hukum yang ada mulai dari perencanan zonasi, perizinan hingga pelaksanaanya menyangkut kajian lingkungan,” tegas Marthin.

Masalah kedua yaitu perampasan tanah pada pulau-pulau kecil dengan balutan kriminalisasi terhadap warga setempat. Lagi-lagi pengusaha menjadi sosok yang diduga terlibat dalam pokok ini dengan tujuan untuk memuluskan bisnis pariwisatanya.

Marthin menyebut kasus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, sebagai contoh nyata yang teraktual dalam masalah ini. Dalam kasus kriminalisasi nelayan Pulau Pari, masyarakat setempat yang telah tinggal puluhan tahun di pulau tersebut dikagetkan oleh terbitnya sertifikat tanah atas nama individu dan perusahaan yang tidak pernah diketahui sebelumnya.

“Perampasan tanah di pulau kecil ini dilakukan dengan cara klasik yaitu kriminalisasi terhadap pejuang nelayan yang menentang perampasan pulau tersebut,” jelas Marthin.

Selanjutnya, Marthin menyebut sejumlah regulasi pemerintah yang justru menghambat nelayan dalam mengakses sumber daya perikanan. Sejumlah regulasi tersebut adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan dan PERMEN KP No. 2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Pukat Hela dan Tarik.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid