Permen KP 1/2015 sendiri mengatur mengenai penangkapan lobster, kepiting dan rajungan, sedangkan Permen 2/2015 mengatur tentang pelarangan pukat hela dan tarik. Menurut Marthin, kedua peraturan ini tidak komprehensif, karena hanya berpijak pada teknis lingkungan hidup dan mengabaikan aspek sosial dan ekonomi nelayan.
“Sehingga akhirnya yang terdampak buruk adalah nelayan dan petambak tradisional skala kecil dari masalah akses atas alat tangkap pengganti yang dianggap ramah lingkungan, hingga berujung kriminalisasi serta kemampuan untuk mengatur pasar ekonomi dari perubahan kebijakan tersebut. Masalah alih alat tangkap masih berjalan dengan sangat lambat.
Sementara masalah pada keempat, Marthin menyebut minimnya kehadiran negaran dalam program bantuan sosial yang ditujukan kepada nelayan, khususnya dalam proyek rumah bagi nelayan. Naasnya, lahan yang digunakan justru merupakan tanah milik nelayan maupun petambak yang telah dirampas sebelumnya.
Marhin menyatakan, proyek sangat sentralistik lantara tidak melibatkan nelayan dan petambak di dalam prosesnya. Hal ini mengakibatkan pada melencengnya output program ini karena tidak berdasar pada karakteristik kebutuhan dasar nelayan, seperti lahan pengeringan ikan dan cold storage.
Kasus yang terjadi di Desa Ketapang Raya, Kecamatan Keruak, Lombok Timur, merupakan contoh yang sangat merepresentasikan masalah ini. Meskipun didanai oleh APBN, nelayan justru tidak mendapat kompensasi yang jelas.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid