Jakarta, Aktual.com – Koalisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengeluarkan seruan bersama agar terciptanya politik elektoral yang bersih dan demokratik, baik untuk pelaksanaan Pilkada serentak 2018, serta Pemilu 2019.

Koalisi dalam siaran pers di Jakarta, Senin (26/3), mengemukakan politik elektoral ini tidak hanya memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menagih akuntabilitas dari para wakil dan pemimpinnya, namun juga peluang untuk memperkokoh pelembagaan demokrasi di Indonesia.

Sejumlah LSM yang tergabung dalam koalisi tersebut antara lain YLBHI, Kontras, Imparsial, Perludem, Kode Inisiatif, Yayasan Pulih, Komisi Kerawam KWI, Setara Institute, Yayasan Tifa, Ma’arif Institue, Jaringan Antar Iman Indonesia, LBH Jakarta, Elsam, dan Human Rights Working Group.

Menurut Koalisi, perhelatan politik elektoral tidak akan menjadi instrumen yang efektif bagi demokratisasi jika integritas proses dan pengelolaannya dinodai oleh berbagai praktek buruk yang terus-menerus berlangsung.

Sejumlah praktek buruk itu antara lain politisasi SARA, kriminalisasi lawan politik, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan intimidasi, tidak netralnya aparatur negara serta penyelenggara Pemilu, praktik politik uang dan penyuapan, pemalsuan dokumen dan manipulasi prosedur penyelenggaraan Pemilu.

Untuk itu, masyarakat juga diharapkan harus mengambil peran untuk secara aktif memantau dan mengawal berlangsungnya politik elektoral agar berjalan selaras dengan prinsip supremasi hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Selain itu, aparat negara, khususnya TNI dan Polri, maupun intelijen harus netral dan profesional. Kapolri dan Panglima TNI harus memastikan setiap calon Kepala Daerah yang berasal dari TNI/Polri tidak menggunakan kekuatan, sumber daya, jejaring teritori TNI/Polri dalam kontestasi Pilkada.

Sementara para kontesntan yang akan bersaing dalam Pilkada, Pileg dan Pilpres dinilai harus tunduk padaaturan main yang berlaku dan tetap memperhatikan nilai-nilai etika. Praktik kampanye kotor dan tidak bermartabat dengan mempolitisasi SARA guna mengadu domba dan memecah belah.

Sedangkan para tokoh agama hendaknya mendorong umat agar tetap bersaudara satu-samalain meskipun pilihan politiknya berbeda-berbeda.

Selanjutnya, KPU dan Bawaslu melakukan pengawasan atas potensi penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan fasilitas jabatan dan tindakan-tindakan pelanggaran hukum lainnya, serta penyelenggara pemilu harus benar-benar berpegang teguh norma dan aturan hukum yang berlaku serta tidak terpengaruh, baik oleh tekanan atau intimidasi dari pihak-pihak yang ingin mencederai pesta demokrasi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan isu mengenai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tidak layak digunakan sebagai bahan kampanye Pilkada serentak 2018.

“Para pemilih yang akan memilih kontestan tentunya jangan sampai masuk wilayah SARA, karena itu tidak layak digunakan sebagai bagian dari kampannye,” ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (12/3).

Mantan Panglima TNI itu menekankan kepada partai politik, para kontestan calon kepala daerah, para pendukung kandidat di Pilkada 2018, agar tidak melakukan langkah politik dengan memakai unsur SARA.

Bawaslu juga telah menemukan 4.074 pelanggaran atas pemasangan alat peraga kampanye pasangan calon peserta Pilkada serentak 2018, kata Anggota Mochammad Afifuddin di Jakarta, Senin (12/3).

“Hasil pengawasan selama 25 hari, yang berlangsung selama masa kampanye pilkada, menunjukkan terdapat 4.074 alat peraga kampanye yang melanggar. Terhadap pelanggaran tersebut, panwaslu telah bertindak dengan menertibkan ribuan alat peraga tersebut,” kata Afif.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: