Jaksa Agung RI, H.M. Prasetyo saat mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/1/2016). Rapat kerja tersebut membahas kasus yang ditangani Kejaksaan Agung sepanjang tahun 2015 di antaranya kasus Freeport dan Gafatar. AKTUAL/JUNAIDI

Jakarta, Aktual.com — Rapat kerja Komisi III DPR-RI dengan Kejaksaan Agung, Rabu (20/1) kemarin, mengungkap banyak kejanggalan dan hal aneh yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Terkait proses hukum, institusi Kejaksaan yang dipimpin Jaksa Agung Muhammad Prasetyo tidak memiliki standar tetap untuk menyatakan bahwa sebuah peristiwa tergolong tindak pidana.

Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman menyoal Kejaksaan Agung yang dinilai tidak konsisten karena tidak memiliki SOP.

“Apakah ada kejaksaan punya SOP dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi. Menetapkan tersangka dulu baru meminta ke BPKP/BPK menghitung kerugiannya atau meminta BPK/BPK menghitung kerugiannya baru menetapkan tersangkanya”, ujar Benny di Jakarta, Kamis (21/1).

Sementara itu, anggota Komisi III Fraksi Partai Gerindra Wenny Waraow menyatakan keanehan atas prosedur pro yustisia yang dilakukan Kejaksaan Agung.

Menurutnya, standar yang dilakukan Kejaksaan Agung tidak lazim seperti yang dilakukan oleh institusi penegak hukum lainnya. “Proses penyelidikan ini penting karena menentukan keluarnya sprindik atau tidak,” kata Wenny.

Sementara, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengklaim pihaknya bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Jaksa hati-hati menetapkan tersangka, maka dalam gelar perkara inilah dianalisa siapa tersangkanya,” ujar Prasetyo.

Sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan terkait kinerja Jaksa Agung timbul karena berbagai alasan. Selain sikap Jaksa Agung yang dinilai tidak profesional, dalam rapat hari ini, pimpinan rapat juga membacakan surat aduan terkait kinerja kejaksaan yang tidak profesional dan tidak berkeadilan.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu