Denpasar, Aktual.com – Swasembada pangan menjadi salah satu misi dalam program Astacita Presiden RI Prabowo Subianto. Beberapa program kerja yang akan dilakukan untuk mencapai swasembada pangan, di antaranya mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Program lainnya adalah meningkatkan produktivitas pertanian melalui sarana prasarana pendukung pertanian rakyat.
Namun, guna menyukseskan misi pemerintah, ada sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi terkait penurunan produktivitas pertanian di Indonesia. Seperti gagal panen, akibat serangan hama, bencana alam akibat perubahan iklim, termasuk fenomena el nino.
Penurunan produksi beras juga diakibatkan oleh makin berkurangnya lahan pertanian khususnya lahan persawahan.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Panggah Susanto menyoroti fenomena yang saat ini terjadi perlindungan lahan pertanian yang kini beralih fungsi menjadi perumahan, pabrik-pabrik ataupun bangunan lainya.
Alih fungsi lahan pertanian di Indonesia, terutama di wilayah Jawa dan Bali, terus berkembang dengan kecepatan yang cukup tinggi, menggantikan lahan pertanian yang sebelumnya menjadi sumber utama pangan. Dampaknya, fenomena ini memunculkan kekhawatiran mengenai dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan dan lingkungan.
“Komisi IV DPR RI tengah berupaya mengatasi persoalan tersebut, dengan merancang Undang-Undang Perlindungan Lahan. Mudah-mudahan bisa tahun depan kita bahas. Undang-undang ini bertujuan untuk mengatur penggunaan lahan, dengan penekanan pada perlindungan lahan pertanian yang semakin berkurang akibat pesatnya urbanisasi. Meningkatnya nilai tanah di sekitar kota, terutama di Jawa dan Bali, menjadi faktor utama yang mempercepat alih fungsi lahan. Lahan yang dulunya murah kini memiliki harga yang sangat tinggi”, ujarnya usai melakukan pertemuan dengan jajaran mitra kerja dari Kementerian Pertanian, Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kota Denpasar, Badan Pangan Nasional, PT Pupuk Indonesia dan PT RN/ID Food, di Denpasar, Bali, Senin (9/12).
Lebih lanjut, Politisi Fraksi Golkar ini menekankan salah satu solusi yang tengah dibahas adalah mewajibkan penggantian lahan yang hilang akibat alih fungsi. Misalnya, untuk setiap 10 hektare lahan pertanian yang digunakan untuk keperluan non-pertanian, harus ada 10 hektare lain yang disediakan sebagai pengganti.
Namun, diakuinya, hal ini tidak mudah diterapkan, mengingat sebagian besar lahan pertanian berada di tangan masyarakat dan bukan pemerintah. Selain itu, dengan semakin terbatasnya lahan pertanian, teknologi pertanian yang lebih canggih juga harus dipikirkan.
“Kita perlu meningkatkan produktivitas pertanian meskipun lahan semakin sempit. Teknologi pertanian yang efisien dan ramah lingkungan akan menjadi kunci untuk mencapainya,” pungkasnya.
Namun, penerapan kebijakan pembatasan alih fungsi lahan bukan tanpa tantangan. Masyarakat yang memiliki lahan pertanian sering kali memilih untuk mengalihfungsikan tanah mereka karena potensi keuntungan yang lebih besar. Pemerintah perlu bijaksana dalam mengatur hal ini, tanpa mengabaikan hak milik individu.
“Disiplin dalam penerapan kebijakan memang bisa dilakukan, misalnya dengan pembatasan akses listrik atau infrastruktur lain. Namun, apakah itu bijaksana? Itu perlu dipertimbangkan lebih matang,” jelasnya.
Dengan semakin terbatasnya lahan pertanian di daerah padat penduduk, seperti di Jawa dan Bali, solusi untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan pertanian menjadi semakin penting.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mencari jalan tengah yang dapat melindungi lahan pertanian sekaligus mendukung kebutuhan pembangunan di masa depan.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan