Bintan, Aktual.com – Anggota Komisi IX DPR RI Itet Tridjajati Sumarijanto mengungkapkan keprihatinan atas maraknya pemanfaatan tenaga kerja anak (child labour) di Kabupaten Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia menyoroti serius masalah ini, di mana sejak usia 15 tahun para anak tersebut sudah banyak dipekerjakan di berbagai bidang.
“Terutama kalau dilihat dari segi tenaga kerja. Tenaga kerja anak usia 15 tahun, itu masuk ke dalam usia tenaga kerja. Nah, padahal 15 tahun itu kalau dilihat masih SMP,” ujar Itet Tridjajati Sumarijanto usai mengikuti Rapat Kunjungan Kerja Masa Reses Komisi IX DPR RI di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Rabu (28/2).
Lebih lanjut, kata Itet, menegaskan bahwa pada usia tersebut, seharusnya anak-anak masih berada di bangku sekolah dan membutuhkan bimbingan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Hal ini dilihat dari kurangnya keterbukaan dalam penyediaan data terkait jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak usia tersebut.
“Jadi (Pemda Bintan) tidak menjelaskan, 15 tahun itu kerja apa. Apa dia tukang sapu, apa dia tukang lap-lap saja, atau di restoran cuci piring,” tegasnya.
Legislator Dapil Lampung itu menilai bahwa Pulau Bintan yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa seharusnya mampu memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dia menyebut pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan kreativitas bagi anak-anak di daerah tersebut.
“Itu potensi untuk kita bersaing, apalagi mereka itu bersaing dalam kepariwisataan. Mereka mengunggulkan itu, sebagai sumber daya alam. jadi sumber dayanya (resource). Itu bisa ditingkatkan dengan Sumber Daya Manusia (SDM)-(SDM) itu,” ujarnya.
Politisi Fraksi Partai PDI-Perjuangan mengungkapkan kekecewaannya terhadap minimnya partisipasi dalam bidang pendidikan di Pulau Bintan. Ia mengatakan rendahnya minat masyarakat untuk mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah karena alasan jarak dan kurangnya keterampilan berpikir inovatif.
“Saya kira Sumber Daya Manusia (SDM) kita harus ditingkatkan. Apalagi 60 persen dari mereka adalah SMP,” ucapnya.
Kendati demikian, Itet menyoroti pentingnya pemilihan umum yang berlangsung dengan jujur dan adil, namun dirinya mengekspresikan ketidakpercayaannya terhadap partisipasi politik dari mereka yang kurang teredukasi. Dengan demikian, dia berharap perlu adanya tindakan konkret untuk memastikan pendidikan dan perlindungan anak di wilayah tersebut.
“Kita bermimpi, politik serta pemilihan umum (pemilu) yang Luber Jurdil, yang bisa hati nurani. Nah, kalau yang 60 persen SMP yang memilih (malah jadi tenaga kerja anak), maka tidak bisa diharapkan (Pemilu Jurdil dan Luber),” tutupnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Sandi Setyawan