Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi VII DPR asal Fraksi Golkar, Satya W. Yudha mengapresiasi sikap pemerintah yang cepat mengakhri polemik soal Menteri ESDM Archandra Tahar yang sudah diberhentikan.
Menurut Satya, selama menjabat sebagai Menteri ESDM selama 20 hari, Archandra belum mengeluarkan kebijakan yang strategis.
“Kami dari Komisi VII DPR, masih menunggu proses selanjutnya terutama terkait keputusan hukumnya. Karena bisa saja membatalkan kebijakan yang sudah dia buat. Tapi saya melihat, selama 20 hari itu belum ada keputusan yang strategis,” ujar Satya di sela acara Rapat Paripurna DPR dengan Presiden, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (16/8).
Apalagi, kata dia, Archandra sendiri memang belum sempat bermitra dengan DPR. “Makanya Pak Luhut (Luhut Panjaitan – Menko Maritim/Plt Menteri ESDM) harus ikuti guideline yang sudah kita sepakati,” tutur dia.
Sejauh ini, kata dia, kebijakan strategis di sektor ESDM sudah tertuang di Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan yang diterjemahkan ke Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menjelaskan pengaturan teknisnya.
“Masalah yang prioritas di kementerian itu banyan, mulai dari soal divestasi freeport, proyek 35 ribuvmega watt (MW), proyek geothermal, meningaktkan cadangan migas, dan lainnya, itu yang harus dibicarakan,” ujar dia.
Bahkan untuk proyek 35 ribu MW itu, ujar dia, 25 persennya harus berasal dari energi baru dan terbarukan.
“Itu prioritas yang sudah kami bahas. Makanya, saya gak khawatir, ketika pemerintah ganti Menteri ESDM dan diganti Luhut guidance-nya sudah ada,” tegas Satya.
Dia meminta pemerintah dengan Luhut sebagai Plt Menteri ESDM harus segera berkoordinasi dengan DPR. “Apalagi saat ini Presiden sedang bacakan nota keuangan, sehingga akan ketahuan sikap pemerintah terkait lifting, besaran subsidi, pertumbuhan ekononi untuk APBN 2017,” jelas dia.
Untuk itu, kata dia, DPR menyerahkan semua ke Presiden Jokowi dan melaksankan kebijakan teknisnya berpatokan sama KEN atau pun RUEN.
Namun ditanya terkait masalah-masalah kontrak di sektor ESDM, bagi Satya, intinya kedaulatan negara tetap harus di atas dari segalanya. “Jangan sampai sebuah kontrak berbeda dalam perlakuannya,” tutup dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka