Jakarta, Aktual.com – Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan kasus NWR merupakan sinyal darurat adanya keterbatasan layanan terhadap perempuan korban kekerasan yang harus dibenahi.
“Kasus NWR yang mengemuka ini sekaligus alarm penting yang tidak boleh kita abaikan bagaimana keterbatasan layanan saat ini sudah memasuki masa genting, sehingga tidak dapat lagi menjangkau korban secepat dan dan setanggap yang dibutuhkan untuk dapat menopang pemulihan,” kata Andy, Kamis (9/12).
Menurut dia, kemampuan penanganan lembaga-lembaga pengada layanan terhadap perempuan korban kekerasan saat ini belum bisa maksimal.
Daya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, katanya, mengalami berbagai hambatan disebabkan berbagai faktor, termasuk adanya perubahan layanan dari luring ke daring, hambatan geografis, maupun kapasitas sumber daya untuk membantu korban yang mengalami kesulitan dalam penanganan karena melonjaknya kasus kekerasan selama masa pandemi COVID-19.
Akibatnya, menurut dia, terdapat sejumlah kasus kekerasan yang dilaporkan, namun tidak tertangani dengan baik.
Andy menyebut meskipun Unit Pengaduan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sendiri telah menambah relawan, namun upaya pembenahan kapasitas kinerja dengan memperbaiki SDM tidak mengurangi panjangnya antrean penanganan kasus.
“Sehingga hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius untuk mengatasi hambatan dalam pelayanan terhadap korban,” kata Andy Yentriyani.
Permasalahan yang kompleks ini, kata dia, membutuhkan respons berbagai pihak yang mendukung upaya pemenuhan hak-hak korban, termasuk melalui pengesahan RUU TPKS yang menjadi kunci penting keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual.
NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto, diketahui pernah mengadukan kasusnya kepada Komnas Perempuan pada pertengahan Agustus 2021. Namun belum sempat ditangani oleh P2TP2A Mojokerto karena keterbatasan psikolog dan jumlah kasus yang banyak.
NWR kemudian memutuskan mengakhiri hidupnya pada 2 Desember 2021.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid