Saudaraku, dengan disrupsi teknologis dan arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, tetapi juga dari luar. Bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk kian mengalami kompleksitas relasi interkultural dan multikultural.
Masalahnya, setiap warga negara, kendati sebagai subjek legal yang setara dan menjadi netizen global, tak ada seorang pun yang bisa berdiri tanpa identitas. Berindentitas dalam konteks pluralitas dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, untuk membuat identitasku eksis, identitas lain harus dipinggirkan, melahirkan atavisme atau totalitarianisme (kanan dan kiri), yang kini sedang merebak di berbagai penjuru bumi. Namun, jika itu pilihannya, Indonesia yang majemuk akan menjadi zona konflik tak bertepi. Dan seperti kata Mahatma Gandhi, “Bila mata dibayar dengan mata, dunia akan mengalami kegelapan.”
Kedua, dengan mata terbuka kita menyadari keragaman fakta sosial, dan demi eksistensi suatu identitas mau tidak mau harus bisa hidup berdampingan dengan yang lain secara damai. Jika ini pilihannya, kita harus bisa mengembangkan “titik temu” (common ground), yang bisa menyatukan keragaman menjadi pelangi yang indah.
Dalam mengembangkan titik temu, diperlukan pembudayaan civic nationalism dengan memperkuat modal sosial melalui perluasan jaring konektivitas dan inklusivitas. Jaring konektivitas adalah ruang-ruang perjumpaan dan interaksi, ruang keterlibatan dan kerjasama yang bisa membuat yang asing menjadi familiar, prasangka beralih jadi pengenalan yang menumbuhkan cinta.
Adapun inklusivitas adalah kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan dan privelese sosial yang bisa mengatasi kecemburuan sosial. Melalui penguatan konektivitas dan inklusivitas itulah bisa terbangun rasa saling percaya.
Untuk memperkuat jaringan konektivitas dan inklusivitas diperlukan serat-serat tipis nilai konsensual yang dapat menyatukan keragaman ke dalam ikatan komunitas moral. Singkat kata, persatuan nasional memerlukan kesepakatan mengenai “nilai inti” (core values) moral publik yang terkristalisasi dalam Pancasila.
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
As'ad Syamsul Abidin