Ankara, Aktual.com – Koalisi Rohingya Merdeka (FRC) akan menjadi tuan rumah konferensi internasional di Barnard College, Columbia University, di New York City pada 8 dan 9 Februari.

Konferensi dua-hari tersebut, yang direncanakan diikuti oleh cendekiawan kenamaan dari seluruh dunia, utusan PBB, pegiat dan pengungsi akan menyerukan pertanggungjawaban dan perlindungan bagi etnik minoritas nasional di Myanmar, kata FRC di dalam satu pernyataan, Minggu (3/2).

“Ini adalah pertemuan langka sivitas akademika dan pegiat yang berasal dari dan dengan keahlian mengenai Burma (Myanmar), bersama praktisi hukum pidana internasional dan kemanusiaan,” tambah pernyataan tersebut.

FRC adalah kelompok pegiat global terkemuka yang dipimpin oleh dan untuk rakyat Rohingya, kata pernyataan itu.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai rakyat yang paling tertindas di dunia, telah menghadapi kekhawatiran yang meningkat mengenai serangan sejak puluhan orang tewas dalam kerusuhan antarmasyarakat pada 2012.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya tewas oleh pasukan negara Myanmar, demikian satu laporan dari Lembaga Pembangunan Internasional Ontario (OIDA).

Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dilemparkan ke dalam api, sementara lebih dari 114.000 orang lagi dipukuli, kata laporan OIDA, yang berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience”.

Sebanyak 18.000 anak perempuan dan perempuan Rohingya diperkosa oleh polisi dan personel militer Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah milik orang Rohingya dibakar dan 113.000 rumah lagi dirusak, tambah pernyataan tersebut, sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Turki, Anadolu.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan anak kecil dan perempuan, menyelamatkan diri dari Myanmar dan menyeberang ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh, setelah pasukan Myanmar melancarkan penindasan terhadap masyarakat minoritas Muslim pada Agustus 2017.

PBB juga mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan –termasuk bayi dan anak kecil– pemukulan brutal dan penghilangan manusia oleh pasukan negara Myanmar. Di dalam laporannya, para penyelidik PBB mengatakan pelanggaran semacam itu bisa menjadi kejahatan terhadap umat manusia.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin