Jakarta, aktual.com – Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (NU) Australia dan Selandia Baru, Nadirsyah Hosen, menyoroti kondisi organisasi yang menurutnya tengah berada pada fase paling krusial dalam usia satu abad keberadaannya. Melalui cuitan di platform X pada Rabu (3/12), ia menilai problem yang dihadapi NU tidak hanya berkaitan dengan persoalan tambang, tetapi lebih dalam menyangkut arah dan identitas jam’iyyah.
“Jam’iyyah berusia satu abad ini benar-benar berada pada titik kritis. Ini bukan semata soal urusan tambang yang bikin amburadul jalannya organisasi, tapi lebih jauh dari itu,” kata Nadirsyah.
Menurutnya, NU kini berada di antara dua tarikan besar: otoritas moral dan spiritual para kiai di satu sisi, serta tuntutan modernisasi tata kelola organisasi di sisi lainnya.
“Pada satu sisi, Jam’iyyah Nahdlatil Ulama ini berdiri atas otoritas moral dan spiritual Kiai. Di sisi lain, tuntutan modernitas membawa jam’iyyah pada tata kelola organisasi modern, di mana otoritas Kiai direduksi oleh aturan main dalam AD/ART,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa pilihan yang dihadapi NU bukan sekadar antara islah atau menjaga supremasi Syuriyah, melainkan pertanyaan mendasar tentang kemampuan jam’iyyah menafsirkan ulang kaidah klasik dalam konteks modern.
“Pilihannya bukan sekadar memilih diantara islah atau menjaga supremasi Syuriyah. Pertanyaan sebenarnya jauh lebih dalam, bisakah kaidah “المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح” dipahami sebagai mandat untuk memodernkan jam’iyyah tanpa tercerabut dari akar otoritas keulamaan?” ucapnya.
Nadirsyah menyimpulkan bahwa NU tengah berada di persimpangan jalan. Menurutnya, kembali ke tradisi lama tanpa membaca tantangan zaman hanya akan menjerumuskan NU pada romantisme masa lalu, sementara mengejar pembaruan tanpa menjaga marwah kiai berisiko menjadikan organisasi kehilangan ruhnya.
“Jika NU hanya kembali ke qadim tanpa membaca tantangan zaman, ia akan terperangkap dalam romantisme masa lalu. Tapi jika NU mengejar ‘jadid’ tanpa jaga marwah Kiai, ia akan terjebak dalam logika organisasi modern yang kering dari ruh, berubah menjadi korporasi yang hidup dari rapat dan anggaran, bukan dari hikmah dan karamah ulama,” jelasnya.
Ia menilai masa depan NU sangat bergantung pada kemampuan menemukan formula baru tata kelola jam’iyyah yang mampu menyatukan tradisi dan modernitas. Konflik yang muncul, menurutnya, semestinya melahirkan gagasan-gagasan segar, bukan sekadar memperpanjang siklus ketegangan internal.
“Jika NU gagal menemukan titik temu ini, konflik demi konflik hanya akan menjadi siklus yang berulang: para kiai kehilangan wibawa, para pengurus kehilangan arah, dan jama’ah kehilangan kepercayaan,” katanya.
Namun, ia juga melihat peluang besar apabila jam’iyyah berhasil menemukan keselarasan tersebut.
“Namun jika NU berhasil, maka ia justru akan menjadi model Islamic civil society paling matang di abad ini: memadukan kedalaman spiritual, kearifan tradisi, dan ketangguhan administrasi,” tegasnya.
“Dan mungkin di titik itulah kaidah tadi menemukan maknanya yang paling benar: menjaga yang lama karena ia membawa berkah, dan mengambil yang baru karena ia membawa maslahat,” lanjutnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















