Jakarta, Aktual.com — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam pemberian penghargaan kepada pemimpin tertinggi negara Korea Utara, Kim Jong Un sebagai tokoh anti-imperialisme oleh Yayasan Pendidikan Soekarno.
“Kontras meyakini ketidaketisan dan ketidaktepatan dalam pemberian penghargaan tersebut, serta mendesak Yayasan Pendidikan Soekarno segera membatalkan pemberian penghargaan,” kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Kamis (6/8).
Menurut Haris Azhar, pemberian penghargaan atas sikap anti-imperialisme Kim Jong Un tanpa menjadikan sikap politik Korea Utara yang menutup semua celah komunikasi terkait isu HAM dan demokrasi dengan negara lain sebagai indikator sama sekali tidak patut dilakukan.
Pelanggaran HAM berat yang diduga kuat dilakukan oleh Pemerintah Korea Utara berdasarkan laporan dari Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korea Utara seharusnya menjadi indikator penting dalam menentukan pemberian gelar dalam bentuk apapun, termasuk pemberian gelar yang akan dilakukan oleh Yayasan Pendidikan Soekarno.
“Korea Utara merupakan salah satu negara dengan krisis HAM dan demokrasi terburuk, dengan adanya pelanggaran HAM yang berat secara sistematis dan meluas serta disponsori oleh negara,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa isi dari laporan dari Komisi Investigasi PBB telah membuktikan adanya represi dan pelanggaran HAM antara lain pelanggaran atas kebebasan berpikir, beragama dan berekspresi dengan ditutupnya akses informasi dari sumber yang independen, dimana media yang dikendalikan oleh negara adalah satu-satunya sumber diizinkan.
Kedua, diskriminasi secara sistematik dilangsungkan berdasarkan suatu sistem yang mengklasifikasikan kelas dari warga negara berdasarkan sistem sosial, gender, agama, dan opini politik.
Ketiga, Pelarangan atas kebebasan bergerak dan bertempat tinggal. Sistem indoktrinasi dan diskriminasi atas dasar kelas sosial diperkuat dan dilindungi oleh kebijakan negara dalam mengisolasi warga negaranya dari kontak dengan dunia luar, yang secara kuat telah melanggar segala aspek dalam hak untuk kebebasan bergerak.
“Warga negara bahkan tidak diizinkan untuk meninggalkan provinsi mereka untuk sementara waktu tanpa ijin dari pemerintah secara resmi. Kebijakan ini dilakukan untuk membatasi arus informasi dan memaksimalkan kontrol negara, dengan mengorbankan ikatan sosial dan kekeluargaan,” katanya.
Keempat, pelanggaran hak atas pangan dan aspek terkait dari hak untuk hidup, karena pemerintah Korea Utara dinilai telah menggunakan makanan sebagai alat kontrol atas penduduk.
Kelima, penahanan, penyiksaan, eksekusi sewenang-wenang di kamp-kamp penjara. Polisi dan militer dari pemerintah Korea Utara secara sistematis menggunakan kekerasan dan hukuman yang tidak manusiawi dalam rangka menciptakan iklim ketakutan bagi warga negaranya.
“Diestimasikan sekitar 80.000-120.000 tahanan politik ditahan di empat kamp tahanan politik yang cukup besar di Korea Utara,” kata Haris.
Keenam, Penculikan dan penghilangan paksa dari negara lain. Sejak tahun 1950 hingga sekitar tahun 1980 setelah Perang Korea , Korea Utara telah terlibat dalam penculikan sistematis, penolakan repatriasi dan penghilangan paksa dalam skala besar sebagai kebijakan negara.
Kontras menilai, enam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Korea Utara diselenggarakan atas kontrol dari sistem yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Artikel ini ditulis oleh: