Jakarta, Aktual.com — Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pemerintah berada dalam situasi gamang dalam menghadapi pelaku pelanggaran hak asasi manusia.

“Dari TOR tersebut kami berpendapat bahwa pada akhirnya, negara tidak berdaya, dan tidak taat pada prinsip-prinsip hukum dalam menghormati HAM atas korban-korban pelanggaran HAM yang berat yang terjadi. Simposium yang akan dilaksanakan hanya sekedar presentasi olah pikir semata, tanpa terlihat tujuan pertanggung jawaban negara,” ujar Kepala Biro Pemantauan Kontras, Feri Kusuma melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (15/4) malam.

Penilaian itu dinyatakan Kontras setelah lembaga swadaya masyarakat itu menerima Kerangka Acuan (“Term of Reference”) penyelenggaraan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965-Pendekatan Sejarah yang akan diselenggarakan pemerintah 18-19 April 2016.

Feri mengaku prihatin dengan penurunan kualitas proses pertanggungjawaban negara yang tercermin melalui simposium tersebut. Menurut dia, sejauh ini proses penyampaian informasi dan desakan ke negara untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu banyak dilakukan, namun sepanjang April 2016 upaya negara hanya diarahkan untuk membuat sebuah simposium belaka.

“Kondisi kasus-kasus pelanggaran HAM sebagaian sudah masuk pada tahap proses hukum, namun mengalami penolakan dari Jaksa Agung. Kemudian terjadi pengalihan isu kepada kampanye rekonsiliasi tanpa dijelaskan secara tertulis apa maksud rekonsiliasi itu, lalu didiskusikan antara kantor Menko Polhukam dan Wantimpres, dan berujung pada penyelenggaraan simposium,” kata dia.

Selain itu simposium untuk membahas persoalan tragedi politik 1965 hanya disediakan dua hari dan didominasi presentasi para pembicara dengan tema-tema yang menurut Kontras jauh dari konteks hak asasi manusia.

Dengan kata lain, ujar Feri, simposium hanya untuk mendengar pendapat berbagai pihak, dan dikhawatirkan hanya akan menempatkan pembenaran-pembenaran praktik kekerasan terhadap warga sipil yang seharusnya dilindungi negara.

“Sementara komposisi perwakilan dari organisisasi korban yang diundang tidak jelas,” kata dia.

Lebih jauh dia juga mengkritisi tujuan penyelenggaraan simposium yang disampaikan dalam TOR yang tertulis untuk menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah dalam menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep pemulihan korban, rehabilitasi korban, dll).

Menurut Feri proses simposium tersebut bisa mengaburkan kemajuan-kemajuan yang sudah dilakukan para korban dengan penuh perjuangan.

“Lagi pula khusus untuk peristiwa 1965, sudah ada keputusan hukum dan politik yang seharusnya dijalankan oleh Pemerintah, tanpa perlu di-simposium-kan lagi,” tegas dia.

Simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” akan dilaksanakan 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta.

Ketua Pelaksana Simposiun Suryo Susilo mengatakan acara tersebut akan dihadiri lebih kurang 200 peserta dari kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, korban pelanggaran HAM berat dan organisasi korban, wakil partai politik, pelaku serta wakil dari lembaga-lembaga pemerintah.

Salah satu arsitek yang mendorong pelaksanaan simposium tersebut adalah Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto.

Sidarto mengatakan hasil akhir simposium ini diharapkan memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan