Jakarta, Aktual.com – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan protes tindak kekerasan dan brutalitas sejumlah anggota TNI AD Bataliyon Infantri Lintas Udara 501 Madiun terhadap seorang jurnalis Net. Tv atas nama Soni Misdananto di Madiun, Jawa Timur, Minggu (2/10) kemarin.
KontraS mendesak Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI 501 Madiun secara akuntabel, transparan dan profesional. Semua itu dilakukan guna memberikan efek jera dan jaminan ketidakberulangan penggunaan kekerasan oleh anggota TNI.
Dalam keterangan persnya, Senin (3/10), Badan Pekerja KontraS Haris Azhar mengungkapkan, aksi kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI di Madiun bukanlah kali pertama. Sebelumnya, peristiwa kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik di Sumatera Utara.
Kekerasan di Sumut terjadi pada 15 Agustus 2016 lalu oleh anggota TNI Angkatan Udara, tepatnya di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia, Kota Medan.
“Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TNI tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anggota-anggota TNI yang belum taat aturan sebagaimana peraturan-peraturan yang ada sehingga cara-cara kekerasan dan tindakan-tindakan brutalitas masih dijadikan alat penyelesaian suatu masalah,” tegasnya.
Penyelesaian atas tindakan tentara juga membuktikan tidak adanya penghukuman yang berat yang dapat memberikan efek jera. Lebih dari itu, KontraS menilai masih ada ancaman terhadap kebebasan untuk mendapatkan informasi dilapangan terhadap para jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Padahal kerja-kerja jurnalistik dilindungi Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Kami menilai bahwa tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI terhadap korban telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, sehingga proses penyelesaian secara kekeluargaan bukanlah solusi dari penyelesaian peristiwa kekerasan,” ucap Haris.
Penyelesaian secara kekeluargaan, lanjutnya, juga tidak memberikan jaminan tidak terulangnya tindakan-tindakan kekerasan dan perilaku brutalitas yang dilakukan oleh aktor kemanan terhadap jurnalis. KontraS menyatakan proses hukum harus terus dikedepankan berdasarkan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang ada.
Antara lain berupa tindakan penganiayaan berkaitan dengan Pasal 351 KUHP dan Pasal 406 tentang Perampasan Barang, Pasal 33 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 UU No 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Perbuatan Merendahkan Martabat Manusia.
Kemudian Pasal 12 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia dan Pasal 6 tentang pelanggaran hak atas pekerjaan yang dialami oleh jurnalis. Selain itu juga UU 12 tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 12 ayat (1) huruf J, KUHP Tentara Pasal 137 tentang Anggota yang melakukan kekerasan terhadap orang, serta UU 40/ 1999 tentang Pers. Bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(Soemitro)
Artikel ini ditulis oleh: