Jakarta, Aktual.com – Sikap pembangkangan PT Freeport Indonesia atas pemberlakukan status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari sebelumnya Kontrak Karya (KK) sangat disayangkan pemerintah.

Sikap itu justru akan merugikan Freeport sendiri. Pasalnya dalam kondisi apapun Freeport harus terus memenuhi kewajibannya terhadap pemerintah Indonesia.

“Jadi bagi pemerintah, sekarang dalam operasinya Freeport itu, kita melihat jenis-jenis penerimaan negara apa saja yang menjadi kewajiban dari Freeport. Dan harus dipenuhi sampai kapan pun,” tutur Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, ditulis Kamis (23/2).

Apalagi kemudian, kata dia, kontribusi Freeport terhadap keuangan negara dari sisi fiskal tak terlalu besar jika dibanding keuntungannya.

“Yang saya ingat, pada tahun 2014 itu (kontribusinya) sekitar US$ 400 juta (sekitar Rp5,2 triliun). Kalau tahun lalu, saya lupa ya,” tandas Suahasil.

Bagi pemerintah, dalam masalah kasus Freeport bukan masalah hengkang atau tak hengkang terkait dampaknya ke penerimaan negara. Tapi pemerintah masih membuka untuk terus melakukan negosiasi.

“Dalam proses negosiasi seperti yang kita lakukan sekarang, kita lihat satu per satu dan secara teliti. Kira-kira berapa besar (penerimaan negara) di dalam KK dan bagaimana di dalam IUPK,” jelas dia.

Dan saat ini, kata dia, pemerintah atau Kementerian ESDM telah mengubah statusnya menjadi KK sesuai UU Minerba. “Jadi, kalau dia menjadi IUPK berarti membayar (pajak) sesuai ketentuan yang berlaku itu seperti apa. Nah, yang seperti itu yang kita lagi banding-bandingkan,” papar Suahasil.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Heru Pambudi menegaskan, penerimaan bea keluar masih akan aman sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, kendati terganggunya aktivitas ekspor mineral dari Freeport.

Pemerintah telah mengasumsikan tidak ada kegiatan ekspor mineral dan batubara dalam penerimaan bea keluar di 2017. “Asumsi dari bea keluar yang kami tetapkan tahun kemarin untuk target 2017 tanpa ada ekspor minerba. Misalnya ekstrem tidak ada ekspor, maka tidak masalah,” jelas dia.

Selama ini, Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara) memang kontributor terbesar penerimaan bea keluar konsentrat tembaga.

Dalam dua tahun terakhir, Freeport Indonesia menyumbang Rp1,39 triliun di 2015 dan Rp1,23 triliun (2016), sedangkan Newmont sebesar Rp1,309 triliun (2015) dan Rp1,25 triliun (2016).

Pihaknya hanya akan melayani proses ekspor bagi yang memiliki Surat Persetujuan Ekspor (SPE). Sedangkan Freeport sampai saat ini pihak DJBC belum menerima SPE perusahan tambang asal Amerika Serikat itu.

Freeport sendiri telah menghentikan produksi sejak 10 Februari 2017. Permasalahan tersebut bermula saat pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pemerintah telah menyodorkan IUPK sebagai pengganti KK, namun Freeport keberatan dengan skema tersebut karena pemegang IUPK diwajibkan untuk melakukan divestasi hingga 51 persen, yang berarti kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka. Bahkan, Freeport juga berencana untuk menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional.

(Reporter: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka