Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Prakarsa, Ah Maftuchan menyebutkan, sejauh ini kinerja Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) belum maksimal dalam menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi dari potensinya yang ada.
Untuk itu, kendati pihak Kemenkominfo bakal merevisi kebijakan peraturan menteri untuk mengatur lelang telekomunikasi tak akan menjamin adanya penambahan PNBP itu.
“Karena selama ini upaya untuk mengerek potensi sumber penerimaan dari sektor telekomunikasi di Kemenkominfo terkesan tak serius. Apalagi target PNBP Kemenkominfo mengalami penurunan dalam APBN 2017 yang turun Rp900 miliar atau 6,3 persen dibandingkan APBNP 2016. Jadi kebijakan baru ini diragukan bisa mengerek PNBP,” kritik dia di Jakarta, Kamis (23/3).
Menurutnya, selama periode 2012-2015, PNBP Kemenkominfo mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2,2 persen per tahun, tapi setoran PNBP menunjukkan sebaliknya.
“Makanya Kemenkominfo terkesan tidak serius melelang frekuensi. Pasalnya mereka hanya mengalokasikan satu blok pada pita frekuensi 2,3 Gz untuk dilelang di tahun ini, sementara sisanya tidak jelas kapan akan dilelang,” tutur dia.
Padahal, katanya, penundaan satu blok di pita frekuensi 2,3 GHz pada lelang tahun ini telah menghilangkan potensi penerimaan PNBP hingga sebesar RP 2,1 triliun dan setiap penundaan turut mengakumulasi potensi kehilangan PNBP hingga Rp 250 miliar per tahun.
“Ditambah lagi, mekanisme lelang yang tidak mensyaratkan komitmen dan realisasi pembangunan bagi para operator pemenang juga membuat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan upaya mengatasi kesenjangan sangat diragukan,” papar dia.
Untuk itu, katanya, pihak-pihak terkait perlu menaruh perhatian agar lelang sesuai prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, dan sejalan dengan prioritas Nawacita Presiden Joko Widodo, termasuk dengan memperhatikan upaya mengatasi defisit penerimaan negara.
“Makanya, revisi ini harus mengikutsertakan seluruh potensi frekuesi untuk mengoptimalisasi PNBP dan menghapus pembatasan-pembatasan untuk menjamin asas keterbukaan dan perlakuan non diskriminatif,” tegas Maftuch.
Menurutnya, sektor telekomunikasi merupakan sektor strategis bagi negara dengan estimasi pendapatan tak kurang dari Rp15 triliun. Dengan jumlah pelanggan melebihi jumlah penduduk (mencapai 300 juta orang), sektor telekomunikasi bukan sekadar industri jasa, melainkan telah menjadi industri primer.
“Sayangnya, sumbangan penerimaan negara dari sektor ini belum setara dengan potensinya, masih jauh lebih rendah ketimbang kontribusi dari sektor sumber daya alam (SDA), terutama migas. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, hanya menyumbang total Rp 67,5 triliun atau hanya 19 % dari total PNBP di sektor Migas yang mencapai angka Rp 352.8 triliun,” pungkasnya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh: