Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Indonesia berencana memperketat regulasi terkait industri hasil tembakau (IHT) dan komoditas tembakau melalui penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan. Meski tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, rencana tersebut mendapatkan kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk anggota DPR dan perwakilan serikat pekerja.

Anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, menyampaikan pandangannya bahwa RPP ini cenderung bersifat diskriminatif terhadap IHT. Ia menilai bahwa aturan tersebut terlalu fokus pada dampak negatif tanpa mempertimbangkan manfaat positif yang telah dihasilkan oleh industri tembakau.

Panggah menyoroti bahwa produk tembakau telah memberikan manfaat signifikan bagi sekitar enam juta orang, dan mengingatkan bahwa aspek positif ini juga harus dilindungi.

“Dampak positifnya sudah jelas karena menyangkut enam juta orang dan angka ini sudah terbukti dari riset. Tapi, sayang sekali sering tidak dilihat, malah (produk tembakau) disamakan dengan narkotika,” ucap Panggah saat dihubungi, Jumat (17/11/2023).

“Kita sama-sama sepakat RPP ini harus dibatalkan. Karena RPP Kesehatan kok mengurus distribusi, pertanian, iklan, dan lainnya, yang intinya memojokkan kita semua, memojokkan dalam proporsi yang tidak seimbang,” tambahnya.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM SPSI), Andreas Hua, turut menyatakan keberatannya terhadap RPP Kesehatan.

Ia mencatat bahwa beberapa pasal, seperti Pasal 438 Ayat (1) yang mengatur minimal 20 batang per bungkus rokok, dapat berpotensi merugikan pekerja industri tembakau.

“Jadi buat kami, para pekerja, tiap tahun kami berteriak turun ke jalan, karena tiap tahun jumlah pekerja rokok itu berkurang. Nasib kawan-kawan pekerja yang di luar serikat pekerja lebih parah lagi,” ungkapnya.

Andreas menekankan bahwa dampak paling dirasakan adalah oleh para pekerja, yang dapat menghadapi ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika produksi rokok menurun.

“Yang paling merasakan dampaknya adalah pekerja. Kita di pabrik kalau rokok nggak laku, kita di PHK. Kalau sudah di PHK ya tidak bisa apa-apa,” ujar dia.

Bukan hanya perwakilan pekerja, peneliti dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Badrus Samsul Fata, juga mengecam RPP Kesehatan. Menurut Badrus, regulasi ini dapat mengancam keberlangsungan IHT yang telah menjadi bagian dari budaya dan industri khas Indonesia.

Ia menyoroti potensi bahaya dari larangan total promosi dan iklan produk tembakau, serta pembatasan iklan di berbagai media.

P3M menciptakan solidaritas antar jejaring dan bersiap bergerak sebagai respons terhadap RPP Kesehatan yang dianggap merusak sendi budaya pertembakauan.

Dengan berbagai pihak yang menolak, terdapat desakan agar pemerintah membatalkan RPP Kesehatan dan membentuk regulasi baru yang lebih komprehensif terkait industri tembakau. Perkembangan selanjutnya terkait isu kontroversial ini tetap menjadi perhatian publik.

“Dalam RPP Kesehatan banyak sekali larangan yang muncul, karena itulah P3M mulai membangun solidaritas antar jejaring dan, di tahun ini, P3M harus bergerak karena RPP Kesehatan ini menghancurkan semua sendi budaya pertembakauan,” jelas Badrus.

Artikel ini ditulis oleh:

Ilyus Alfarizi
Jalil