Ilustrasi- Kantor FSPPB

Jakarta, Aktual.com – Rencana aksi mogok yang dilakukan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) karena menuntut Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati untuk mundur dari jabatannya, mendapat dukungan dari Koordinator INVEST, Ahmad Daryono. Menurutnya, aksi tersebut patut diapresiasi sebab Nicke dinilai tidak menghormati proses perundingan Perjanjian Kerja Bersama.

Padahal perjanjian tersebut merupakan hak Serikat Pekerja sebagai perwakilan karyawan untuk mewujudkan kepentingannya dalam hubungan industrial dengan Manajemen Perusahaan sesuai UU No 13/tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Seruan mogok kerja FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) yang akan dilakukan mulai 29 Desember 2021 sampai 7 Januari 2022 patut mendapat acungan jempol,” kata Daryoko dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin (27/12).

Ia mengatakan bahwa aksi mogok merupakan hak Serikat Pekerja (SP) dalam melakukan bergaining position terhadap manajemen atau pemerintah dalam memperjuangan aspirasinya. Menurutnya aksi SP tersebut di lingkungan BUMN bisa dilakukan bila nasib pekerja terancam oleh kebijakan Pemerintah, misalnya adanya program privatisasi/penjualan asset perusahaan/Swastanisasi.

“Aksi Serikat di Pertamina diatas menunjukkan bahwa mereka sadar memiliki hak dan legal standing sebuah Serikat guna memperjuangkan anggotanya, sekaligus sebagai Civil Society yang harus memiliki kesadaran untuk ikut menegakkan konstitusi dalam konteks kemandirian dan kedaulatan energi,” ujarnya.

Daryoko mengungkapkan, jika aksi serupa pernah terjadi pada SP di PLN sekitar tahun 2000-an. Di mana SP PLN saat itu meminta kepada Presiden RI untuk mencopot seluruh jajaran Direksi PLN dibawah pimpinan Dirut Prof. DR. Koentoro Mangkoesoebroto, karena saat itu Koentoro yang mantan Menteri Pertambangan akan menerapkan kebijakan “Unbundling System” yang ada di “The White Paper” Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan bikinannya saat menjadi Menteri Pertambangan dan Energi 25 Agustus 1998.

“Tak lama setelah protes SP PLN ke Presiden RI (dengan ancaman mogok kelistrikan Jawa-Bali), akhirnya Dirut Koentoro diganti dengan Eddie Widiono,” ungkapnya.

Daryoko menuturkan dalam menghadapi kebijakan Pemerintah yang akan merugikan Perusahaan, ternyata entitas SP di BUMN memiliki kompetensi dan “legal standing” lebih kuat dibanding jajaran direksi.

“Dengan catatan harus ada kemauan dan keberanian,” tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi