Jakarta, Aktual.com – Komite Pemantau Legislatif (Kopel) menagih kelanjutan kasus reklamasi Central Poin Of Indonesia (CPI) yang sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait adanya dugaan korupsi menggunakan anggaran negara.
“Kita menagih progres kasus di KPK. Ada apa KPK dengan CPI?. Apa langkah yang sudah dilakukan selama ini. Sejauh mana progres investigasinya atau jangan-jangan KPK juga ikut mendiamkan kasus ini,” ungkap Koordinator Kopel Sulsel Musaddaq di Makassar, Minggu (22/1).
Menurut dia, Kopel telah memasukkan laporan hasil monitoring dan investigasi kepada KPK sejak Juli 2016, namun tidak kunjung ada penyampaian sejauh mana penelusuran dan penyelidikan kasus itu, apakah dinyatakan bersalah atau tidak, bahkan tidak ada informasi terkini diterima Kopel.
Selain itu, anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan wisma negara dan pembangunan lainnya telah menelan anggaran APBD kurang lebih Rp300 miliar, termasuk anggaran yang habis untuk penimbunan lahan dari APBD sebesar Rp164 miliar.
“Ada apa apa Pemerintah Provinsi memaksakan percepatan pembangunan itu meski masih bermasalah. Kami meminta DPRD Sulsel agar berhati-hati menggelontorkan uang rakyat untuk CPI, karena pada akhirnya pihak investor yang diuntungkan, bukan masyarakat,” ujarnya.
Rencananya DPRD Sulsel akan menyuntik kembali anggaran sebesar Rp91 miliar melalui dana APBD 2017 guna kelanjutan mega proyek padahal sudah diswastanisasikan kepada investor besar.
Selain itu, dirinya membeberkan ada pihak yang sengaja diuntungkan pada mega proyek itu, sebut saja pengembang Ciputra Grup diduga telah mendapatkan untung dari reklamasi termasuk kelompok-kelompok tertentu.
Kendati pelaporan di KPK belum tuntas, kasus sengketa kepemilikan lahan di tanah tumbuh kawasan reklamasi CPI juga masih berlangsung antara Pemerintah Provinsi Sulsel dengan salah satu ahli waris penggarap lahan yakni Abd Latief Makka.
Ahli waris mengklaim lahan seluas 10 hektar di kawasan CPI tersebut miliknya, sesuai putusan dari PTUN Makassar pada 2015 tentang hak atas tanah garapan yang sudah dibeli yang diserahkan Sampara Bani selaku penggarap pertama.
Sementara Pemrov Sulsel bersikukuh, lahan tersebut milik pemerintah dan telah menggugat ahli waris kemudian dimenangkan sebanyak tiga kali. Persoalan ini pun di respon Komisi D DPRD Sulsel untuk mempertemukan kedua belah pihak guna mencari kebenaran.
Dalam pertemuan itu, ahli waris melalui kuasa hukumnya, Supardi menjelaskan, punya dasar hak garapan sesuai putusan nomor :03/G/2015/P.TUN.Mks, selanjutnya digugat Pemrov.
Namun pihaknya mengakui Pemrov melakukan gugatan banding hingga ke tingkat Mahkamah Agung dan menang tiga kali selama proses persidangan dengan putusan MA dengan register no 93/G/2005/PTUN.MKS tertanggal 29 Juli 2016, disebutkan melalui amar putusan dituliskan, menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi H Abd Latief Makka.
Tetapi Supardi mengungkapkan ada keganjilan dalam perolehan hak penerbitan sertipikat dimiliki Pemprov dinilai tidak wajar, dimana dalam pengurusannya tidak mempunyai sporadik tanah sesuai dengan keterangan lurah setempat.
Sekertaris Komisi D Ariady Arsal yang memimpin pertemuan itu pada Kamis (19/1), meminta agar kedua belah pihak memberikan salinan putusan termasuk sertipikat yang diklaim Pemrov telah dimilikinya.
“Saya meminta kedua belah pihak menyerahkan semua berkas-berkas dan dokumen, termasuk sertipikat lahan. Karena selama ini kami hanya dijanji-janji pihak Pemprov menyerahkan dokumen tapi sampai sekarang tidak ada. Kami tidak membela siapa-siapa, tetapi bila menyangkut uang rakyat ini perlu disikapi mengingat CPI sudah banyak anggaran dihabiskan disana,” paparnya.
Diketahui, Kopel bersama Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulsel telah memasukkan laporan dugaan korupsi proyek reklamasi CPI di Makassar. Direktur Kopel Indonesia Syamsuddin Alimsyah menyebut pada proyek itu ada potensi kerugian negara sebesar Rp15 triliun lebih.
Tender proyek reklamasi CPI seluas 157 hektare lebih ini awalnya dimenangkan PT Yasmin Bumi Asri, belakangan kemudian di kerja samakan lagi dengan PT Ciputra Grup. Perusahan Ciputra pun malah menggandeng perusahaan Internasional Boskalis asal Belanda yang juga diketahui melakukan reklamasi di teluk Jakarta, padahal masalahnya belum selesai malah melanjutkan pembangunan.(ant)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara