Jakarta, Aktual.com — PT. Gemala Borneo Utama (GBU) kembali melakukan penyerobotan lahan milik warga adat Pulau Romang, kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) untuk aktivitas eksplorasi tambang emas dengan cara melakukan pengeboran.
“Yang diseroboti adalah lahan milik mata rumah Weyatu dan warga yang mengetahui kejadian itu berupaya melakukan pencegahan sehingga bersitegang dengan dua anggota Brimob yang melaksanakan pengawalan dengan senjata lengkap,” kata anggota Koalisi ‘Save Romang Island’, Izak Knyairlay, di Ambon, Kamis (12/5). (Baca juga: Warga Roma Tuding GBU Langgar UU Minerba )
Dia yang juga selaku ketua ikatan mahasiswa asal Pulau Romang menuturkan peristiwa ini terjada pada Selasa, (10/5) kemarin.
Menurut Izak, lahan tersebut awalnya sudah dilindungi warga secara adat dengan memasang tanda ‘Sasi Adat’ dengan tidak mengizinkan pihak mana pun masuk dan melakukan aktivitas di lokasi itu.
Namun, para pekerja dari PT. GBU didampingi seorang warga negara asing dan dikawal dua aparat Brimob bersenjata lengkap masuk dan melakukan pengeboran.
Pemilik petuanan Darwawna, Corneles Lenderth mengemukakan, pada Senin (9/5) pukul 15.10 WIT, ia mendapat laporan dari masyarakat yang berkebun di sekitar wilayah itu mendengar bunyi seperti mesin bor, Setelah mereka mendekat kearah bunyi dan melihat karyawan PT. GBU sedang melakukan pengeboran dengan dikawal oleh dua petugas keamanan (Brimob) Polda Maluku sehingga mereka kembali ke kampung dan melaporkannya.
“Saya menyuruh 15 orang warga ke lokasi untuk menangkap dan mengambil mesin bor untuk dibawa ke kampung Oirleli sebagai barang bukti,” ujar Izak.
Setelah mereka sampai di lokasi pengeboran sempat diancam mau ditembak oleh petugas Brimob Polda Maluku, tetapi karena kalah banyak dan takut karena para karyawan PT. GBU yang lain telah melarikan diri ke hutan maka Brimob takut untuk menembak,” ujarnya. (Baca juga: http://www.tribun-maluku.com/2016/04/aneh-sudah-kantongi-izin-produksi-pt-gbu-masih-kirim-sampel.html )
Masyarakat langsung menyita mesin bor sebagai bahan bukti dan Cornelis melaporkannya ke Dewan Adat se-Pulau Romang yang telah melakukan sasi adat atau (Nyertu Yarna) dalam bahasa Romang pada 21 April 2016 lalu.
Ketika ditanyakan terkait dengan apa yang akan dilakukan Dewan Adat se-Pulau Romang untuk kejadian ini, ia mengatakan menurut aturan adat disini pasti ada Denda Adat tetapi bentuk dendanya saya tidak tahu karena hal itu sepenuhnya ada dalam keputusan bersama dalam Rapat Dewan Adat se-Pulau Romang.
Sasi Adat atau Nyertu Yarna adalah larangan secara adat dengan menggunakan Ilmu Gaib. Bagi masyarakat Pulau Romang ini adalah sebuah cara atau metode yang dipakai untuk menjaga dan melestarikan hasil-hasil atau sumber daya alam di sana.
Sasi sendiri adalah larangan untuk mengambil sumber daya tertentu baik di darat maupun di laut sebagai bagian dari upaya pelestarian dan menjaga mutu serta populasi sumber daya alam tersebut.
Dikatakan, sasi memang bersifat `hukum adat, tetapi, ini juga menyangkut hubungan manusia dengan alam.
Pada hakekatnya sasi juga berfungsi sebagai “Polis Line” dalam hukum adat yg berisi larangan dan sanksi.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara