Pesawat 'in-situ' milik NASA, DC-8, yang digunakan untuk ekspedisi penelitian kualitas udara lintas Asia ditempatkan di Pangkalan Udara Osan di Pyeongtaek, Korea Selatan, Jumat (16/2/2024). (ANTARA/Yonhap-OANA)

Osan, aktual.com – Korea Selatan dan Amerika Serikat akan memulai ekspedisi penelitian untuk mengungkap penyebab polusi udara di seluruh Asia selama musim dingin.

Ekspedisi itu digelar sebagai upaya untuk secara lebih baik mengatasi tantangan menyangkut kualitas udara, serta menghasilkan kebijakan guna meningkatkan kualitas udara.

Program itu akand dijalankan oleh ASIA-AQ, yang merupakan usaha gabungan antara Institut Penelitian Lingkungan Nasional (NIER) Korea Selatan dan Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA).

Kedua pihak akan bersama-sama mengumpulkan data terperinci soal kualitas udara di beberapa lokasi di Asia dengan menggunakan pesawat, satelit, serta berbagai fasilitas di darat.

ASIA-AQ telah menyelesaikan empat penerbangan di Filipina dan Taiwan selama beberapa minggu terakhir.

“Ekspedisi ini berupaya menemukan penyebab di balik memburuknya kualitas udara di Semenanjung Korea selama musim dingin,” kata direktur jenderal departemen penelitian iklim dan kualitas udara NIER Yoo Myung-soo.

Keterangan itu ia sampaikan saat konferensi pers di Pangkalan Udara Osan di Pyeongtaek, 60 kilometer sebelah selatan Seoul, Jumat (16/2).

Hasil investigasi bersama juga akan digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan keandalan kebijakan dalam negeri mengenai lingkungan atmosfer, ujar dia menambahkan.

Penelitian gabungan tersebut untuk sementara dijadwalkan berlangsung pada 19-26 Februari, dan dilakukan delapan tahun setelah Korea Selatan memimpin ekspedisi KORUS-AQ dengan NASA pada 2016.

Ekspedisi pada 2016 itu menemukan bahwa 52 persen partikel ultrahalus yang diteliti di Seoul berasal dari Korea Selatan dan 48 persen dari luar negeri, termasuk 34 persen dari China.

Perbedaan utama antara KORUS-AQ dan prakarsa baru ini adalah waktu pelaksanaan penelitian, yang berubah dari musim semi ke musim dingin, serta mobilisasi satelit GEMS yang baru diluncurkan, kata Barry Lefer dari NASA.

Pada 2020, Korea Selatan meluncurkan satelit lingkungan geostasioner pertama di dunia, atau GEMS, yang memantau polutan udara di seluruh Asia dari ketinggian 36.000 kilometer di atas permukaan tanah.

Tim peneliti juga akan menggunakan pengukuran darat terperinci dari 11 lokasi penelitian kualitas udara, termasuk di Seoul dan di pulau Baengnyeong serta Jeju.

Mereka juga akan mengumpulkan sampel pesawat dari atmosfer bawah dengan menggunakan DC-8 milik NASA, sebuah pesawat yang terbang lokal di dalam atmosfer pada ketinggian 2.000 kaki.

“Hal ini berarti bahwa dari darat kita dapat mengukur apa yang kita hirup, namun dari luar angkasa kita dapat mengukur akumulasi total polutan,” kata Jim Crawford dari NASA yang memimpin proyek ASIA-AQ.

Proyek ini juga dirancang untuk memeriksa ulang pengukuran GEMS, yang memantau kualitas udara di Asia delapan kali sehari, karena data tersebut memerlukan verifikasi melalui perbandingan dengan pengamatan di darat.

“Dibutuhkan waktu untuk mengolah data mentah dan mengubahnya menjadi data yang berguna bagi sains,” kata Crawford.

Ia menambahkan interpretasi dan temuan dari data tersebut akan dibuka untuk umum pada tahun berikutnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain