Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti kembali kasus korupsi yang menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid. Penangkapan Wahid menambah panjang daftar kepala daerah Riau yang terlibat kasus serupa.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, kasus ini menjadi yang keempat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
“Kami menyampaikan keprihatinan karena praktik korupsi di Riau terus berulang,” ujar Johanis di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (5/11/2025).
Ia menjelaskan, kasus korupsi serupa pernah terjadi sebelumnya pada 2007, 2012, dan 2014. Tiga kasus tersebut berkaitan dengan pengadaan barang, penyelenggaraan kegiatan olahraga nasional, dan alih fungsi lahan hutan.
Menurut Johanis, peristiwa berulang itu menunjukkan masih lemahnya tata kelola dan integritas penyelenggara pemerintahan daerah.
“KPK sudah melakukan banyak upaya pencegahan, tapi tetap saja korupsi dilakukan,” ujarnya menambahkan.
Johanis menilai penangkapan kali ini harus menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah. Ia menyebut, KPK melalui fungsi koordinasi dan supervisi akan terus mendorong perbaikan sistem agar praktik serupa tidak terulang.
“Momentum ini harus jadi pengingat bagi semua pihak untuk menjaga integritas dan menjauhi praktik korupsi,” kata Johanis.
Ia menegaskan, KPK akan tetap berkomitmen memastikan pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan di Riau maupun provinsi lainnya.
Turunnya SPI Riau
KPK juga menyoroti turunnya skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Riau pada 2024. Penurunan ini dinilai sebagai sinyal lemahnya pengawasan, terutama dalam sektor pengadaan barang dan jasa. Johanis menyebut skor SPI Riau anjlok dari 68,80 pada 2023 menjadi 62,83 pada 2024.
“Komponen PBJ turun signifikan dari 84,92 menjadi 63,69 poin,” ujar Johanis.
Ia menegaskan, sektor pengadaan barang dan jasa menjadi titik rawan praktik korupsi di pemerintahan daerah. Menurutnya, hasil survei menunjukkan bahwa integritas aparatur dalam proses PBJ mengalami penurunan paling drastis dibanding sektor lain.
“Padahal, area PBJ sangat menentukan efisiensi dan transparansi belanja publik,” kata Johanis.
Ia menilai, lemahnya pengawasan internal dan praktik kolusi masih menjadi hambatan utama reformasi tata kelola pemerintahan.
KPK, lanjut Johanis, telah memetakan tren tersebut melalui program Monitoring, Controlling, Surveillance for Prevention (MCSP). Meskipun skor MCSP Riau secara umum naik dari 80 menjadi 81, namun aspek PBJ justru turun hingga 75 poin dari 100 pada 2023.
Ia menegaskan, KPK akan memperkuat upaya pencegahan melalui koordinasi, supervisi, dan pendidikan antikorupsi.
“Integritas daerah harus dibangun bukan hanya lewat penindakan, tapi juga pembenahan sistem dan perilaku,” tutur Johanis.
Laporan: Muhammad Hamidan
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















