Jakarta, Aktual.com — Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi, tak memenuhi panggilan penyidik pidana khusus pada Kejaksaan Agung (Kejagung).

Tidak hadirnya anak buah Surya Paloh di Partai NasDem itu lantaran belum menerima surat panggilan pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan korupsi hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Pemerintah Provinsi Sumut 2012-2013.

“Tengku Erry dipanggil dimintai keteterangan sebagai saksi, tapi beliau belum bisa hadir, karena sesuai info diterima tim penyidik, bahwa panggilan yang dikirim melalui atasan beliau, yaitu Kemendagri, sampai tadi belum diterima oleh yang bersangkutan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Amir Yanto, Kamis (26/11).

Amir mengaku belum mengetahui penyebab belum diterimanya surat panggilan penyidik kepada yang bersangkutan. Tapi yang pasti, penyidik mengirimkan surat tersebut melalui Kemendagri selaku atasan Erry.

“Tentu saja tim penyidik, namanya saya juga belum tahu. Informasi dari penyidik telah dikirimkan melalui atasan beliau, yaitu Kemendagri,” katanya.

Setelah penyidik melakukan koordinasi dengan Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumut, penyidik akan memanggil kembali Erry untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada hari Senin, 30 November 2015, di gedung bundar Kejagung.

“Tadi tim penyidik koordinasi dengan kepala Biro Hukum Provinsi Sumut, bahwa panggilan diminta dikirim kembali melalui Kemendagri, tapi tembusan langsung disampaikan ke Pak Tengku Erry Nuradi. Mungkin hari ini,” katanya.

Sesuai mekanisme, lanjut Amir, untuk memanggil pejabat aktif harus melalui atasannya dan tidak langsung kepada yang bersangkutan. Jika terkait kedinasan, maka harus melalui atasannya.

“Ya lewat atasan langsung, tidak (langsung ke yang bersangkutan) karena kalau dinas, biasanya lewat atasan langsung. Saya informasi dari kepala Biro Hukum Provinsi Sumut,” katanya.

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan dua orang tersangka, yakni Gubenur Sumut non aktif, Gatot Pujo Nugroho, dan Kepala Badan Kesbanglinmas Pemprov Sumut Eddy Sofyan.

Penyidik menetapkan Gatot karena diduga tidak memverifikasi sejumlah penerima hibah dan juga penetapan SKPD pengelola. Sedangkan tersangka Eddy, diduga meloloskan data-data yang sebenarnya belum lengkap, antara lain keterangan tentang sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak diketahui oleh desa setempat. Akibat ulah tersebut, negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp2,2 milyar.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan