Jakarta, Aktual.com – Pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo mengakui peran anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih sebagai penghubung dengan Direktur Utama (Dirut) PLN Sofyan Basir.
“Tugas beliau (Eni) memfasilitasi pertemuan-pertemuan saya dengan direksi dan Dirut PLN karena kalau saya ke Dirut PLN akan lama sekali diterimanya tapi dengan terdakwa bisa jauh lebih cepat,” kata Johanes Budisutrisno Kotjo di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (18/12).
Kotjo bersaksi untuk Eni Maulani Saragih didakwa menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham BNR Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo serta gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura (sekitar Rp410 juta) dari pengusaha yang bergerak di bidang energi dan tambang.
“Kepentingan terdakwa (Eni) adalah ‘men-develop;(mendukung) proyek sehingga bisa berhasil dan perusahaan yang saya bawa itu bisa jadi mitra PLN yaitu Blackgold Natural Resources Singapura dan Samantaka Batubara,” ungkap Kotjo.
PT Samataka Batubara adalah anak perusahaan BNR. BNR memiliki 99 persen saham PT Samantaka, sedangkan Kotjo adalah pemegang saham PT BNR.
Proyek yang dimaksud adalah “Independent Power Producer” (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT Riau-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Sebelum “menggunakan jasa” Eni, Kotjo lebih dulu meminta bantuan kepada mantan ketua DPR Setya Novanto (Setnov) yang ia sudah kenal lebih dari 30 tahun.
“Katanya dia (Setnov) kenal Sofyan Basir kemudian saya tidak dikenalkan langsung, tapi saya disuruh membuat surat untuk bertemu di kantor PLN dengan Pak Sofyan Basir, lalu saya bertemu dengan Pak Sofyan Basir di PLN pusat,” tambah Kotjo.
Namun setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT iau-1 kepada Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan Kotjo karena Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar saat itu. Eni lalu menyampaikan kepada Idrus akan mendapat ‘fee” untuk mengawal proyek PLTU MT RIAU-1.
“Setelah mereka yakin bahwa saya memang bisa berhubungan dengan PLN dengan baik, lalu kita bicara soal fee, dasarnya 2,5 persen dari nilai proyek dengan term pembayaran adalah 60 hari setelah ditandatangani ‘power puchase agreement’ (PPA) sebesar 30 pesen, setelah ‘financial closing’ sebesar 60 persen, dan 10 persen setelah sealed,” ungkap Kotjo.
Suami Eni Tapi dari rencana seharusnya memberikan sekitar Rp7,5 miliar, Kotjo hanya menyerahkan Rp4,75 miliar kepada Eni.
“Kan terdakwa meminta saya untuk membantu mengurus ‘mesin’ partai, saya kasih Rp2 miliar, lalu membantu untuk membantu suami Rp2 miliar, sisanya 750 juta, jadi sebetulnya tidak ada hubunganya dengan proyek yang ini karena itu sumbangan saya untuk terdakwa untuk bantu dia di pilkada suaminya,” tambah Kotjo.
Besaran bantuan itu menurut Kotjo adalah bagian dari 3,5 persen dari 2,5 persen “fee” berdasarkan nilai proyek 900 juta dolar AS.
“Saudara mengatakan di BAP bahwa ‘3,5 persen itu adalah untuk ‘other’ yaitu pihak-pihak lain yang membantu seperti Eni medapat 3,5 persen dari 2,5 persen total 875 ribu dolar AS dengan dua versi perhitungan karena saat itu masih ada alokasi’, keterangan ini benar?” tanya Jaksa Penuntut Umum KPK Ronald Worotikan.
“Saat itu disita sama sekali tidak terpikir untuk membeli, kalau dilihat ada tulisan tangan saya untuk DPR (Eni) itu baru, jadi merupakan tambahan,” jawab Kotjo.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa uang hasil penerimaan atau gratifikasi tersebut telah digunakan oleh terdakwa Eni Maulani Saragih untuk membiayai kegiatan Pilkada di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah yang diikuti oleh suami terdakwa yaitu M. Al Khadziq serta untuk memenuhi kebutuhan pribadi Eni.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: