Jakarta, Aktual.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak mencapai 3.581 kasus hingga Oktober 2016.

“Kasus tertinggi masih sama dengan tahun sebelumnya, yaitu mengenai anak yang berhadapan dengan hukum yang mencapai 1.002 kasus,” kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh dalam acara penyampaian catatan akhir tahun di Kantor KPAI, Jakarta, Kamis (22/12).

Jumlah pengaduan kasus tertinggi kedua adalah mengenai keluarga dan pengasuhan alternatif (702 kasus).

Asrorun mengatakan dua kategori pengaduan kasus tersebut selalu konstan menjadi yang tertinggi jumlahnya sejak 2010.

Kasus lainnya adalah pelanggaran hak anak mengenai pornografi dan kejahatan siber (414 kasus), pendidikan (328 kasus), kesehatan (306 kasus), perdagangan anak dan eksploitasi (255 kasus).

Kemudian, agama dan budaya (219 kasus), sosial dan anak dalam situasi darurat (211 kasus), hak sipil dan partisipasi (81 kasus), dan lain-lain (63 kasus).

Asrorun menjelaskan catatan kasus pelanggaran hak anak 2016 penting untuk dilihat dari berbagai sudut pandang.

“Penyebabnya tidak merupakan faktor tunggal, melainkan kontribusi dari berbagai faktor yang saling memperkuat,” ucap dia.

KPAI juga mencatat upaya perlindungan anak di Indonesia masih lemah karena kemudahan anak dalam mengakses konten pornografi, permainan bermuatan judi, kekerasan, dan sadisme.

Asrorun juga mengatakan proteksi anak yang lemah juga menyebabkan mudah terindoktrinasi radikalisme dan ekstremisme.

Untuk kepentingan perbaikan penyelenggaraan perlindungan anak, KPAI merekomendasikan penanganan kasus aktual perlindungan anak yang berdampak sistemik.

Kasus aktual tersebut mencakup kejahatan seksual terhadap anak, terorisme yang melibatkan anak, kejahatan siber, ujaran kebencian.

“Perlu langkah serius dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan perlindungan anak,” ujar Asrorun.

Dia menegaskan KPAI terus melakukan langkah-langkah advokasi kebijakan secara intensif untuk memastikan perlindungan anak terus dilakukan.

“Kami melihat belum semua elemen bergerak. Aturan perundangan juga belum dilaksanakan sepenuh hati. Perppu kebiri sempat ‘ngadat’, tapi setelah disahkan belum ada tindak lanjut yang memadai,” kata Asrorun.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid