Jakarta, Aktual.co —Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) desak pemilik kapal ikan berbendera Korea `FV Oryong 501′ yang mempekerjakan pelaut Indonesia dan tenggelam di selat Bering, Rusia Timur, mendapatkan semua haknya.
Siaran pers KPI yang diterima di Jakarta, Sabtu (6/12), menyatakan organisasi itu terus memantau perkembangan evakuasi terhadap puluhan pelaut yang belum ditemukan.
KPI juga terus berkoodinasi dengan Federation of Korean Seafarers Union (FKUS), agar hak-hak pelaut Indonesia segera dipenuhi oleh perusahaan Korea yang mempekerjakannya.
Presiden KPI Hanafi Rustandi mengatakan, kapal ikan Korea yang tenggelam di perairan Rusia itu diawaki 60 orang, 35 diantaranya dari Indonesia, 13 dari Filipina, 11 dari Korea dan seorang inspektur dari Rusia. Hingga saat ini baru ditemukan 19 orang dalam kondisi tewas akibat suhu air laut di bawah nol derajat Celsius. Beberapa di antara korban tidak dikenali karena jenazahnya rusak.
Hingga Kamis (4/12), dari 19 jenazah yang ditemukan tim Korea dan Rusia itu, 10 di antaranya berasal dari Indonesia, 5 dari Korea, 3 dari Filipina dan seorang dari Rusia. Kesepuluh dari Indonesia adalah Naryanto bin Wastara, Warno, Nur Kolis, Dede Roni Rusriana, Mujahidin, Idris, Talapessy, Barjo, Mokodompit dan Syarifuddin. “Kita terus memantau perkembangan selanjutnya,” kata Hanafi.
Kapal ikan FV Oryong 501 pada 1 Desember 2014 sekitar jam 05.30 GMT tenggelam di perairan Chukotka, Rusia Timur, karena diterjang badai dan gelombang tinggi. Selain menangkap ikan, kapal juga memproses ikan hasil tangkapan. Kapal ini milik Sajo Corporation, Korea.
Sejumlah 35 awak asal Indonesia direkrut dan ditempatkan oleh empat agen (manning agency) di Indonesia, yakni PT Koindo Maritime Power (16 pelaut), PT Kimco Citra Mandiri (4), PT Oriza Sativa Agency (7 ) dan PT Mitra Samudera Cakti (8). Semua agen itu beralamat di Jakarta.
Dari ke-4 manning agent tersebut, kata Hanafi, hanya PT Koindo Maritime Power yang punya CBA (Collective Bargaining Agreement) dengan KPI yang berlaku mulai 29 Agustus 2013 – 29 Agustus 2015. Namun, dari 16 pelaut yang dikirim, hanya enam orang yang dilaporkan dalam daftar awak (crew list) dan menjadi anggota KPI, sedang 10 orang lainnya tidak dilaporkan dalam “crew listl” yang ditandatangani KPI dan disahkan oleh Ditjen Perhubungan Laut.
Sejumlah 19 awak lainnya yang direkrut oleh tiga agen lainnya. KPI tidak mengetahui proses pemberangkatannya, begitu pula soal perlindungan dan kesejahteraan pelautnya.
“Yang sangat memprihatinkan, kita mendapat laporan delapan awak yang direkrut PT Mitra Samudera Cakti, tidak diasuransikan,” ungkap Hanafi.
Awak yang direkrut PT Koindo diasuransikan ke PT Sinar Mas dan Aksa. Kesemuanya akan mendapat santunan Rp 150 juta per orang. KPI berharap semua agen telah mengasuransikan semua awak yang ditempatkan di kapal ikan tersebut. Jika tida, maka sang agen melanggar PP No.7/2000 tentang Kepelautan yang antara lain menyatakan semua pelaut yang ditempatkan di kapal harus diasuransikan bernilai Rp 150 juta/orang.
Wajib KTKLN Hanafi yang juga Ketua ITF (International Transport workers Federation) Asia Pasifik mengingatkan, musibah yang menewaskan pelaut di kapal ikan ini harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia.
Ia mengkhawatirkan para pelaut itu diberangkatkan tidak sesuai prosedur, bahkan tidak menandatangani PKL (Perjanjian Kerja Laut) sesuai peraturan. Selain itu, diduga para pelaut juga tidak memiliki KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri) yang berfungsi memuat data-data pelaut, agen pengirim, perusahaan yang mempekerjakan, dan data penting lainnya, sehingga pemerintah akan kesulitan untuk menelusuri pihak terkait dalam upaya membantu menyelesaikan hak-hak pelaut.
“Kalau kewajiban setiap pelaut memiliki KTKLN diterapkan, tidak akan ada pelaut yang menderita di luar negeri,” ujar Hanafi.
Terkait rencana pemerintah yang akan mempertimbangkan TKI yang bekerja di luar negeri tidak perlu memilki KTKLN, termasuk pelaut, Hanafi menegaskan, KTKLN sangat penting karena itu perintah UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Perintah UU ini juga diperkuat dengan terbitnya peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) No.3/2013 tentang kewajiban TKI/pelaut memiliki KTKLN.
“Jika, pemerintah ingin mengubah atau menghapus KTKLN, maka UU No.39/2004 harus direvisi dulu di parlemen,” demikian Hanafi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid