Tolak Reklamasi Teluk Jakarta (Aktual/Ilst)
Tolak Reklamasi Teluk Jakarta (Aktual/Ilst)

Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menyadari bahwa dugaan suap PT Agung Podomoro Land kepada Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, bukan terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Wakil Ketua KPK Laode Syarif mengatakan suap Podomoro itu ada relevansinya dengan pembahasan Raperda tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

“Ya itu lah yang sedang diperlajari. Karena sedang dipelajari, saya belum bisa beri tahu dan belum dipresentasikan ke pimpinan,” kata Syarif di gedung KPK, Jumat (15/4).

Selain itu, tutur Syarif, saat ini penyidik juga tengah mendalami bahwa uang tersebut bukan dari kocek Presiden Direktur Podomoro Ariesman Widjaja. Menurut dia, pihaknya pun menduga bahwa uang itu berasal dari sumber berbeda.

“Nah itulah kita dalami. Kira-kira kalu misalnya Ariesman uangnya sendiri, dalam kepentingan apa dia memberikan uang itu kepada orang itu (Sanusi).”

Dugaan KPK bahwa suap Podomoro bukan terkait Raperda zonasi bukan tanpa alasan. Meski dalam beberapa waktu terakhir, permasalahan yang muncul adalah tentang persentasi kontribusi tambahan 15 persen yang tertuang dalam Raperda Zonasi.

Ada yang menarik jika membahas soal Raperda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura, khususnya mengenai rapat konsolidasi terakhir antara DPRD dan Pemprov DKI tentang aturan tersebut. Pasalnya, rapat tersebut seharusnya digelar di gedung DPRD DKI, yang pastinya dihadir oleh pihak DPRD dan Pemprov DKI.

Tapi rapat yang digelar pada 25 Februari 2016 itu malah dilangsungkan di kantor Bappeda DKI. Dan DPRD hanya mengutus Sekwan sedangkan Pemprov komplit dengan jajarannya yang memang memiliki kewenangan membahas Raperda Tata Ruang itu.

Sekwan sendiri hanya sebagai alat kelengkapan Dewan, bukan anggota, yang artinya tidak bisa memutuskan bahwa naskah Raperda Tata Ruang itu bisa dikatakan rampung. Hal tersebut adalah satu dari kejanggalan pembahasan Raperda ketika itu.

Hal janggal lainnya adalah rapat tersebut bisa menghasilkan keputusan, padahal tidak ada pihak DPRD yang bisa mengambil sikap. Kesepakatannya, dari 13 Pasal yang tertuang dalam Raperda Tata Ruang itu, dimana 11 Pasal diantaranya disepakati oleh Pemprov DKI dan DPRD.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu