Jakarta, aktual.com – KPK telah resmi menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung dalam perkara dugaan pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.

“Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK telah resmi menyatakan kasasi perkara SB (Sofyan Basir) per Jumat, tanggal 15 November 2019, ada waktu 14 hari untuk segera disusun memori kasasinya,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (18/11).

Pada 4 November 2019 lalu, hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir karena dinilai tidak terbukti melakukan pembantuan terkait tindak pidana penerimaan suap dalam kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) IPP PLTU MT RIAU-1.

Majelis hakim tidak sepakat dengan JPU KPK yang menuntut Sofyan agar divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena melakukan pembantuan sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan mantan sekretaris jenderal Partai Golkar Idrus Marham sehingga menerima suap seluruhnya Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo.

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, memori kasasi tersebut akan menjelaskan mengenai fakta hukum yang tidak dipertimbangkan hakim dalam pengadilan tingkat pertama.

“Secara umum JPU pasti akan menyatakan SB (Sofyan Basir) tidak bebas murni. Ada fakta-fakta hukum yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusannya,” kata Alexander.

Alexander mengatakan JPU sedang menyusun memori kasasi sambil menunggu salinan putusan dari PN Tipikor Jakarta.

“Fakta hukum apa yang tidak dipertimbangkan itu sedang digali atau didalami JPU setelah mendapat salinan lengkap putusan SB (Sofyan Basir) dari Pengadilan Tipikor Jakarta,” ungkap Alexander.

Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Sofyan dinilai tidak terbukti mengetahui kesepakatan penerimaan “fee” yang akan diterima Johannes Budisutrinso Kotjo dari CHEC Ltd sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta dolar AS yang selanjutnya akan diberikan ke sejumlah pihak. Nama Sofyan juga tidak tercantum atau bukan sebagai pihak yang menerima “fee” sehingga Sofyan dinilai tidak memahami dan tidak tahu “fee” yang akan diterima Kotjo dan kepada siapa saja “fee” itu akan diberikan.

Alasan kedua hakim adalah Sofyan tidak tahu adanya kesepakatan serta pemberian uang Rp4,75 miliar dari Johannes Kotjo kepada Eni Maulani Saragih.

Alasan ketiga, proses percepatan proyek PLTU MT RIAU -1 terjadi bukan karena permintaan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo namun karena adanya permintaan dan desakan dari pihak pemerintah karena proyek tersebut adalah program prioritas nasional seperti dalam Peraturan Peraturan Presiden No 4 Tahun 2016 sebagaimana diubah dengan Perpres No 14 tahun 2017.

Sehingga Sofyan pun dibebaskan dari segala tuntutan dan langsung dikeluarkan dari rumah tahanan KPK.

Sofyan adalah terdakwa ketiga yang divonis bebas oleh pengadilan tingkat pertama. Terdakwa pertama yang divonis bebas adalah Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad yang divonis bebas di Pengadilan Negeri Bandung pada 11 Oktober 2011 dalam perkara penyuapan anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar, menyalahgunakan anggaran makan-minum sebesar Rp639 juta, memberikan suap Rp500 juta untuk mendapatkan Piala Adipura 2010 dan menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 400 juta agar mendapat opini wajar tanpa pengecualian.

Terdakwa kedua adalah Bupati Kabupaten Rokan Hulu Suparman yang divonis bebas pada 23 Februari 2017 oleh Pengadilan Tipikor Pekanbaru dalam perkara korupsi pembahasan Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Perubahan provinsi Riau 2014 dan APBD 2015.

Dalam kedua perkara tersebut KPK mengajukan kasasi dan di tingkat kasasi keduanya dinyatakan bersalah.

Namun KPK juga mengalami “kekalahan” di tingkat kasasi yaitu dalam perkara mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) yang dinyatakan Mahkamah Agung tidak melakukan tindak pidana perkara penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap BDNI sehingga harus dilepaskan dari tahanan pada 9 Juli 2019.

Sampai saat ini KPK belum mengajukan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali) dalam perkara tersebut.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin