Jakarta, aktual.com – Kasus dugaan korupsi proyek fiktif di lingkungan PT PP memasuki babak baru setelah KPK menahan dua pejabat perusahaan pelat merah tersebut. Namun di balik rangkaian dugaan pengaturan proyek, terselip cerita tentang bagaimana identitas pekerja rendahan seperti office boy dan sopir dipinjam untuk menyamarkan aliran dana.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan praktik itu berjalan sistematis, melibatkan dokumen yang seolah resmi, tetapi seluruhnya bersifat fiktif. Ia mengatakan, penggunaan nama-nama pekerja kecil menunjukkan bagaimana kejahatan korporasi bisa memanfaatkan posisi yang tidak berdaya.
“Agar pengeluaran terlihat wajar, terjadi pengaturan penggunaan vendor, atas nama PT AW,” kata Asep dalam keterangannya.
KPK pada Selasa, 25 November 2025 lalu, menahan dua tersangka, yaitu DM selaku Kepala Divisi Engineering, Procurement, and Construction PT PP serta HNN selaku Head of Finance and Human Capital Department Divisi EPC PT PP. Keduanya ditahan selama 20 hari pertama di Rutan Gedung Merah Putih.
Menurut Asep, penahanan dilakukan setelah penyidik memperoleh kecukupan alat bukti. “Perbuatan melawan hukum dengan modus penggunaan vendor fiktif ini,
kembali dilakukan DM dan HNN secara berulang kali,” kata Asep.
Dari konstruksi perkara yang disampaikan, tindakan itu berlangsung dalam rentang 2022 hingga 2023 ketika Divisi EPC PT PP menangani sejumlah proyek strategis, termasuk proyek yang dikerjakan dengan skema konsorsium. Pada Juni 2022, DM memerintahkan HNN menyediakan dana 25 miliar rupiah yang disebut-sebut untuk kebutuhan Proyek Cisem.
Untuk membuat pengeluaran tampak wajar, mereka mengatur vendor menggunakan nama PT AW dan meminjam identitas dua office boy, EP dan FH, untuk mencetak purchase order dan tagihan palsu. Seluruh dokumen kemudian divalidasi seakan-akan merupakan dokumen pekerjaan yang sah.
Setelah dana dicairkan kepada vendor fiktif, keduanya diduga menerima kembali aliran uang dalam bentuk valuta asing. Pola serupa kembali digunakan pada proyek lain dengan meminjam identitas KYD sebagai sopir, APR sebagai office boy, dan KUR sebagai staf keuangan.
Nilai proyek yang dimanipulasi melalui skema itu mencapai 10,8 miliar rupiah. Asep menjelaskan bahwa praktik seperti ini merusak akuntabilitas. “Uang negara tidak boleh dijadikan ruang eksperimen,” ucapnya.
Dalam periode Juni 2022 hingga Maret 2023, tercatat sembilan proyek fiktif yang menimbulkan kerugian perusahaan hingga 46,8 miliar rupiah. Proyek tersebut mencakup pembangunan smelter nikel di Kolaka, fasilitas tambang di Morowali, hingga proyek pembangkit listrik di berbagai daerah.
Dari salah satu proyek di Bahodopi, DM disebut mengalirkan sebagian dana untuk tambahan pembayaran THR dan tunjangan variabel, termasuk kepada KUR sebesar 7,5 miliar rupiah dan APR sebesar 3,3 miliar rupiah. Asep menyoroti bahwa para pekerja kecil itu tidak pernah memiliki kapasitas sebagai vendor.
“Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara setidaknya
senilai kurang lebih Rp 46,8 Miliar, akibat adanya pengeluaran dari kas perusahaan untuk pembayaran vendor fiktif yang tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi
perusahaan.,” ujarnya.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta pasal-pasal terkait dalam KUHP. KPK menyebut pemeriksaan lanjutan akan terus dilakukan untuk memastikan seluruh aliran dana dan pihak yang terlibat. Asep menegaskan bahwa penguatan tata kelola BUMN menjadi prioritas setelah kasus ini.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















