Jakarta, Aktual.com — ‎Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Bupati Musi Banyuasin, Pahri Azhari sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengesahan LKPJ 2014 dan pembahasan APBD 2015 milik Pemerintah Kabupaten Muba.

Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan KPK, Johan Budi SP mengungkapkan, dalam kasus tersebut Pahri diduga menjadi pihak yang menyuap DPRD Muba. Suap tersebut diberikan agar, DPRD memuluskan pengesahan LKPJ dan pembahasan APBD tersebut.

“Dalam kasus ini dia dikategorikan sebagai pemberi,” ujar Johan, saat jumpa pers, di gedung KPK, Jakarta, Jumat (14/8).

Namun demikian, Johan enggan menyebutkan berapa jumlah uang yang digunakan untuk ‘menyumpal’ mulut para wakil rakyat di daerah Musi Banyuasin. Mantan juru bicara KPK itu pun tidak mau mengungkapkan ketika ditanya asal muasal uang suap tersebut.

“Harus buka kamus. (Untuk asal uang suap) penyidik sedang menelusuri,” tutur calon pimpinan KPK Jilid IV itu.

Dalam waktu dekat ini, sambung Johan, pihaknya akan segera melayangkan surat panggilan pemeriksaan terhadap politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu. Tapi, untuk soal penahanan, Johan menyerahkan seluruh keputusan terhadap penyidik yang menanganinya.

“Tentu akan dipanggil. Tapi apakah ada penahanan, penyidik yang bisa memberikan keputusan,” pungkasnya.

Seperti diketahui, kasus dugaan suap ini terungkap, ketika KPK menangkap tangan dua anggota DPRD Muba dan dua pejabat Pemkab, pada 19 Juni 2015. Mereka diduga tengah bertransaksi suap berupa uang senial Rp 2,567 miliar.

Informasi yang dihimpun, uang yang nilainya lebih dari Rp 2 miliar itu dikumpukan dari patungan beberapa SKPD. Mereka yang diduga ikut urunan, yakni Dinas Bina Marga sebesar Rp 2 miliar, Dinas Cipta Karya sebesar Rp 500 juta, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata sebesar Rp 35 juta, dan Dinas Pendidikan Nasional sebesar Rp 25 juta.

Uang Rp 2,567 miliar yang diduga adalah cicilan ketiga itu, merupakan bagian dari komitmen ‘fee’ Pemkab ke DPRD Muba, terkait pengesahan LKPJ serta APBD. Kesepakatan antara Pemkab dan DPRD Muba dalam memuluskan pengesahan LKPJ dan APBD diduga mencapai Rp 17 miliar.

Awalnya permintaan komitmen oleh pihak DPRD Muba sebesar Rp 20 miliar. Namun, setelah proses negoisasi akhirnya disepakati bahwa komitmen yang wajib diberikan Pemkab Muba ke pihak DPRD Muba sebesar Rp 17 miliar.

Sebelum pemberian Rp 2,567 miliar, Pahri Azhari Cs ternyata sudah lebih dulu menyicil komitmen ‘fee’ sebesar Rp 2,65 miliar. Uang itu merupakan permberian pertama sebagai ‘DP’ dari komitmen Rp 17 miliar, untuk pembahasan APBD 2015.

‘DP’ Rp 2,65 miliar itu diduga berasal dari uang pribadi anggota DPRD Provinsi Sumsel 2014-2019, Lucianty Pahri. Wanita yang akrab disapa Luci itu merupakan istri Bupati Muba, Pahri Azhari. Pasangan suami istri itu merupakan politikus asal Partai Amanat Nasional (PAN).

Uang Rp 2,65 tersebut pun diduga sudah mengalir ke semua anggota DPRD Muba. Adapun rincian yang dibagikan ialah 33 Anggota DPRD Muba masing-masing sebesar Rp 50 juta, 8 Ketua Fraksi masing-masing sebesar Rp 75 juta, dan 4 Pimpinan DPRD Muba masing-masing sebesar Rp 100 juta.

Setelah Rp 2,65 miliar, Pahri Azhari Cs kembali menggeelontorkan uang untuk DPRD, sebesar Rp 200 juta. Jumlah tersebut adalah pemberian kedua terkait “ketuk palu” pengesahan APBD Muba 2015, yang disebut-sebut berasal dari sebuah pom bensin di Palembang, Sumsel.

Dalam kasus suap ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Empat orang itu ialah, anggota DPRD asal PDIP, Bambang Karyanto, anggota DPRD dari Partai Gerinda, Adam Munandar, Kepala DPPKAD Muba Syamsudin Fei, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Beppeda) Muba, Faisyar.

Bambang dan Adam yang diduga sebagai penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Syamsudin dan Faisyar yang diduga sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby