Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami keterangan saksi terkait mekanisme penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan mekanisme pengembalian aset dalam penyidikan kasus korupsi BLBI.
KPK pada Selasa (2/7) memeriksa dua saksi untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN), yakni pengacara pada AZP Legal Consultants Ary Zulfikar dan Direktur Berau Coal Tbk Raden C Eko Santoso Budianto.
“Penyidik mendalami keterangan saksi terkait mekanisme penyaluran BLBI dan mekanisme pengembalian aset serta hal-hal lain yang terkait proses Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham Bank Dagang Indonesia (BDNI) selaku Obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
Sebelumnya, KPK pada Selasa total memanggil empat saksi untuk tersangka Sjamsul. Dua saksi lainnya tidak memenuhi panggilan KPK, yakni mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Senior Advisor Nura Kapital Mohammad Syahrial.
Untuk saksi Dorodjatun telah menyampaikan surat tidak dapat hadir karena sedang mengikuti kegiatan lain dan akan dijadwalkan ulang pemeriksaan pada Kamis (4/7).
Sedangkan saksi Syahrial akan dijadwalkan ulang pemeriksaannya pekan depan karena sedang berada di luar negeri.
Sjamsul bersama istrinya Itjih Nursalim merupakan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan “Financial Due Dilligence” (FDD) dan “Legal Due Dilligence” (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan