Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami komunikasi-komunikasi yang terjadi terkait dengan kasus suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) pada tahun anggaran 2018 pada Pemerintah Provinsi Aceh.
“KPK sedang mengurai komunikasi yang terjadi karena sempat muncul pembicaraan tentang ‘kewajiban’ yang harus diselesaikan jika ingin dana DOK Aceh tersebut turun,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (9/7).
Diduga kata kewajiban tersebut, kata Febri, mengacu pada komitmen “fee” yang dibicarakan oleh pihak yang terkait dalam kasus tersebut.
“Seperti disampaikan saat konferensi pers, transaksi Rp500 juta diduga bagian dari komitmen ‘fee’ Rp1,5 miliar yang direalisasikan,” kata Febri.
Febri menyatakan bahwa aliran dana itu juga menjadi perhatian KPK, termasuk salah satu informasi aliran dana pada pihak tertentu yang akan pihaknya klarifikasi pada saksi yang dicegah ke luar negeri.
Sebelumnya, KPK telah mencegah empat saksi bepergian ke luar negeri, yakni Nizarli, Rizal Aswandi, Fenny Steffy Burase, dan Teuku Fadhilatul Amri.
“Pemeriksaan akan dilakukan sesuai dengan jadwal penyidikan nanti,” ucap Febri.
Selain itu, dia juga mengungkapkan terdapat komunikasi lainnya dalam kasus suap tersebut.
“Sempat muncul juga dalam komunikasi kalimat ‘kalian hati-hati, beli HP nomor lain’. Diduga hal tersebut muncul karena ada kepentingan yang sedang dibicarakan sehingga khawatir diketahui oleh penegak hukum,” tuturnya.
Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan empat tersangka, yakni Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Provinsi Aceh Ahmadi serta dua orang dari unsur swasta masing-masing Hendri Yuzal dan T. Syaiful Bahri.
“Perlu saya tegaskan kembali bahwa semua proses yang dilakukan KPK saat ini adalah proses hukum semata. Sejumlah pihak ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau minimal dua alat bukti,” kata Febri.
Semua proses hukum dalam menangani kasus korupsi itu, katanya lagi, selain dilakukan karena undang-undang mengatur demikian, hal tersebut juga merupakan tugas bersama untuk menjaga agar hak-hak masyarakat, khususnya di Aceh, tidak dirugikan akibat perilaku korupsi pejabat-pejabat tertentu.
“Dalam melaksanakan tugas, KPK memastikan bertindak profesional dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sejauh ini, sekitar 97 kepala daerah telah KPK proses dalam kasus dugaan korupsi. Semua pada akhirnya akan diuji di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Febri.
Diduga sebagai penerima Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal, dan T. Syaiful Bahri, sedangkan diduga sebagai pemberi adalah Ahmadi.
Diduga pemberian oleh Bupati Bener Meriah kepada Gubernur Aceh sebesar Rp500 juta bagian dari Rp1,5 miliar yang diminta Gubernur Aceh terkait dengan “fee” ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) pada Provinsi Aceh pada TA 2018. Pemberian tersebut merupakan bagian dari komitmen “fee” 8 persen yang menjadi bagian untuk pejabat pada Pemerintah Aceh dari setiap proyek yang dibiayai dari dana DOKA.
Adapun pemberian kepada Gubernur dilakukan melalui orang-orang dekat Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah yang bertindak sebagai perantara.
KPK pun masih mendalami dugaan penerimaan-penerimaan sebelumnya.
Dalam kegiatan operasi tangkap tangan terkait dengan kasus itu, KPK total mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait dengan tindak pidana, yaitu uang sebesar Rp50 juta dalam pecahan seratus ribu rupiah, bukti transaksi perbankan Bank BCA dan Bank Mandiri, dan catatan proyek.
KPK pun telah menahan empat tersangka itu di empat lokasi yang berbeda selama 20 hari ke depan, yakni Irwandi Yusuf di Rutan Cabang KPK di belakang Gedung Merah Putih KPK, Ahmadi di Rutan Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur, Hendri Yuzal di Rutan Polres Jakarta Pusat, dan T. Syaiful Bahri Rutan Polres Jakarta Selatan.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, Ahmadi disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001.
Sebagai pihak yang diduga penerima, yakni Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal, dan T. Syaiful Bahri disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: