Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mendesak KPK membongkar hingga tuntas dugaan suap yang melibatkan Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar.

Diyakini Asep, jika yang bersangkutan terbukti menerima suap, maka tidak mungkin hanya dilakukan sendiri untuk memenuhi keingingan dari para penyuap.

“Kasus ini harus diungkap tuntas (KPK), karena logikanya tidak mungkin penyuap hanya melakukannya pada Patrialis sendiri saja. Sebab, seorang Patrialis tentunya bukan superman yang sanggup melakukan itu sendirian,” kata Asep saat dihubungi, di Jakarta, Jumat (27/1).

“Jadi harus benar-benar dituntaskan, agar kasus ini tidak terulang lagi dan agar mafia hukum dan mafia-mafia lainnya juga dapat dihukum dan tidak muncul lagi,” tambah dia.

Pembongkaran kasus secara tuntas, yang melibatkan hakim MK bukanlah baru kali pertama terjadi, yakni kasus Ketua Hakim MK Akil Mochtar yang terseret kasus suap sengketa Pilkada.

“Kan sudah ada preseden sebelumnya, ketua MK ditangkap karena kasus korupsi. Saya khawatir kalau tidak dituntaskan maka akan muncul kasus lainnnya di kemudian hari,” ujar dia.

Oleh karena itu, Asep meminta agar KPK mengembangkan kasus ini ke pihak pemerintah terutama dari pihak Kementerian Pertanian dan juga DPR utamanya komisi IV.

Sebab, para penyuap diyakininya juga melakukan hal yang sama kepada pemerintah dan DPR untuk meloloskan pasal dalam UU yang digugat, yang sebelumnya sudah dibatalkan MK dalam UU yang lama.

“Para penyuap ini nampaknya ingin agar MK dalam putusannya menolak gugatan dari pihak penggugat. Penyuap ini berkepentingan agar pasal tersebut tetap ada dan mereka bisa mendapatkan keuntungan,” papar dia.

“Logikanya karena sebelumnya dalam proses pembahasan sampai pengesahannya oleh pemerintah dan DPR mereka tidak mungkin tidak menyuap karena lolosnya pasal yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK. Kan aneh pasal yang sudah dibatalkan kemudian muncul kembali kalau tidak ada apa-apanya,” pungkas dia.

 

Laporan: Novrizal

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Novrizal Sikumbang