Petugas memeriksa pipa gas di Onshore Receiving Facilities (ORF) milik PT Pertamina Gas di Porong, Sidoarjo, Jawa TImur, Jumat (26/2). Fasilitas yang beroperasi sejak 1993 tersebut menyalurkan 320 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd) untuk memenuhi kebutuhan gas pabrik pupuk, pembangkit listrik, industri dan jaringan gas kota untuk rumah tangga. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/ama/16

Jakarta, Aktual.com – Ketua Federasi Serikat pekerja (FSP) BUMN Bersatu, Arief Poyuono menilai KPK tidak konsisten dalam penanganan kasus korupsi, bahkan dia melihat penangkapan Ketua DPD, Irman Gusman hanyalah upaya mengelabui kasus korupsi di BUMN.

Yang menjadi perhatiannya yakni kasus Indikasi adanya penyelewengan oleh Direktur BUMN dilakukan laporan ke Presiden seakan kompromi atas penanganan perkara hukum, namun disisi lain KPK tidak melaporkan Irman Gusman yang diklaim telah dipantau sejak lama.

“Ada keanehan perbedaan antara kasus tertangkapnya Irman Gusman dengan Direksi BUMN yang punya rekening di Singapore hasil dari penerimaan fee. Keanehan ada pada Ketua KPK yang melaporkan pada Presiden Joko Widodo tentang adanya Direksi BUMN yang punya duit di Singapura, nah ditangkapnya operasi tangkap tangan Irman Gusman yang katanya sudah dipantau kok tidak lapor Presiden. Patut dicurigai Direksi BUMN yang dilaporkan itu didukung oleh orang yang berkuasa diseputaran Joko Widodo,” ujar Arief di Jakarta, Selasa (20/9).

Lebih lanjut dikatakan jika fee yang ada di Singapore sebenarnya mungkin bukan hanya milik Direksi BUMN tetapi ada bagian untuk orang di lingkaran kekuasaan pak Joko Widodo.

Adapun terkait proyek Jaringan Gas (Jargas) Kementerian ESDM yang menunjukan PGN dan Pertamina menurutnya sangat dimungkinkan adanya fee mengalir dari hasil mark up pembelian alat alat dan bahan yang digunakan untuk proyek tersebut.

“Biasanya semua peralatan yang diperlukan untuk membangun jaringan gas itu dibeli melalui perusahaan agen di Singapura serta untuk pipanya sih bisa dari dalam negeri. Jadi tidak tertutup kemungkinan fee tersebut berasal dari perusahaan di Indonesia yang mensupply pipa gasnya,” tandasnya.

Sebelumnya beredar kabar bahwa anak perusahaan Pertamina melakukan dugaan mark up melalui proyek kementerian ESDM untuk membangun jaringan gas. Proyek dengan total nilai Rp1,181 triliun ditugaskan kepada PGN dan Pertamina.

Pertamina selanjutnya menugaskan anak perusahaannya, Pertamina Gas (Pertagas) untuk bertanggungjawab membangun 32 ribu sambungan di Prabumulih dan 4087 di Cilegon. Sedangkan PGN mendapat 24 ribu sambungan di Surabaya.

Namun kemudian diketahui Pertagas mematok harga rata-rata kontrak persambungan sebesar Rp15,4 juta sedangkan PGN dengan material yang sama hanya sebesar Rp10,5 juta. Alhasil indikasi nilai mark up yang diduga dilakukan Pertagas adalah 36.087 sambungan mencapai Rp176.8 miliar.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka