Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com — Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) menyambangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (11/2).

Kedatangan mereka untuk menanyakan pengusutan kasus perpanjangan kontrak JICT yang terindikasi melanggar Undang-undang (UU) dan berpotensi merugikan negara puluhan triliun rupiah.

Kasus ini pun telah dilaporkan sebelumnya oleh SP JICT pada 22 September 2015 lalu. Menurut SP JICT, dugaan korupsi dalam perpanjangan kontrak JICT telah dipaparkan langsung dalam rekomendasi penyelidikan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI dan Pelindo II.

Dimana dalam rekomendasinya Pansus Pelindo II meminta Menteri BUMN untuk segera membatalkan perpanjangan kontrak perpanjangan JICT itu.

Terlebih, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pun sudah menyampaikan saat rapat Pansus Pelindo II, bahwa perpanjangan JICT telah melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan izin konsesi Pelindo II yang baru didapat pada tanggal 11 November 2015, tidak berlaku surut.

“Secara otomatis, perjanjian perpanjangan kontrak JICT yang ditandatangan Hutchison Port Holdings (HPH) dan Pelindo II pada 5 Agustus 2014 batal demi hukum,” tegas Nova Hakim, Ketua SP JICT, di gedung KPK.

Soal potensi kerugian negara, sambung dia, juga telah dihitung oleh tim gabungan dari Bahana Sekuritas dan Financial Research Institute (FRI) yang ditunjuk oleh Pansus Pelindo II DPR.

Hasil hitungan FRI, terdapat pendapatan Pelindo II yang hilang akibat adanya kontrak tersebut senilai Rp 36 triliun.

Atas hal itu, SP JICT meminta Menteri BUMN Rini Soemarnno dan mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino, untuk mempertanggungjawabkan adanya kerugian tersebut.

“Keduanya terindikasi melanggar UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP Nomor 41 Tahun 2003 dan Keputusan MK No.48/PUU/2014,” papar Nova.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu