Jakarta, Aktual.com – Kesimpulan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut kasus dugaan korupsi kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) dipertanyakan. Pasalnya, konklusi KPK berbeda dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“BPK jelas menyebut korupsi RS Sumber Waras sempurna. Jangan lupa juga, BPK menemukan enam penyimpangan dalam transaksi RS Sumber Waras itu,” tegas pengamat perkotaan Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru, Sugiyanto, kepada wartawan, Selasa (14/6) malam.

Apa yang disampaikan Ketua KPK Agus Raharjo di Komisi III DPR, menurutnya belum pernah terjadi dalam sejarah penegakan hukum di tanah air. Dimana aparat penegak hukum menyatakan hal berkebalikan dari hasil audit BPK. (Baca: Kasus Sumber Waras, KPK Klaim Tidak Temukan Perbuatan Melawan Hukum)

Terlebih, kesimpulan sementara yang disampaikan KPK tidak disertai dengan argumentasi dan data yang kuat. Pernyataan KPK ini disebutnya berpotensi mengacaukan sistem tata negara dan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia.

Demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik, lanjut Sugiyanto, dalam beberapa hari ke depan KPK harus menjelaskan dimana letak kekeliruan BPK dalam melakukan audit kasus dugaan korupsi pembelian lahan RSSW. (Baca: Komisi III Heran, KPK Simpulkan Tidak Ada Korupsi Sumber Waras)

“Saya kira tidak ada cara lain, KPK harus bisa membuktikan atau mematahkan temuan hasil audit BPK yang menyebut ada kerugian uang negara. Semua harus dijelaskan dengan baik. Jika tidak, maka akan tiba saatnya rakyat bakal bilang ‘bubarkan saja KPK!’,” ucap dia.

Sebelumnya, Anggota Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Eddy Mulyadi Soepardi mengungkapkan adanya penyimpangan yang sempurna dalam pembelian sebagian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Salah satu yang menyebabkan jelasnya penyimpangan itu terlihat dari status lahan yang telah dibeli oleh Pemprov DKI, tetapi saat ini masih digunakan oleh RS Sumber Waras. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK membuktikan ada kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.

“Bukan indikasi, ini sudah realize. Itu fakta. Auditor mengumpulkan fakta. BPK tidak pernah ngomong salah dan benar, tapi melihat fairness, wajar atau tidak,” tegasnya.

 

Laporan: Sumitro

Artikel ini ditulis oleh: