Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan kronologis penangkapan pejabat Mahkamah Agung (MA) dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Jumat (12/2) malam.
“Pada Jumat (12/2), pukul sekitar pukul 22.30 WIB, KPK mengamankan ALE (Awan Lazuardi Embat) yaitu seorang pengacara dan seorang supir di parkiran hotel kawasan Gading Serpong Tangerang. Setelah penangkapan dilakukan penangkapan ATS (Andri Tristianto Sutrisna) Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus pada MA,” kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu (13/2).
Tim penyidik KPK menangkap Andri di rumahnya yang juga berlokasi di kawasan Gading Serpong Tangerang dan ditemukan uang Rp400 juta dalam pecahan Rp100 ribu.
“Pada saat yang hampir bersamaan dilakukan penangkapan terhadap IS (Ichsan Suadi) seorang pengusaha di sebuah apartemen di kawasan Karet Jakarta Selatan, selain 3 orang diamankan supir dari IS dan 2 petugas pengamanan tempat domisili ATS,” tambah Yuyuk.
Uang diberikan melalui perantaraan supir Ichsan kepada Awan.
“Jadi supir IS yang memberikan ke ALE, dan dari ALE uang diberikan kepada ATS,” ungkap Yuyuk.
Uang Rp400 juta tersebut terkait dengan penundaan penyerahan salinan putusan MA.
“Pemberian terkait dengan permintaan penundaan salinan putusan kasasi sebuah perkara dengan terdakwa IS. Saat ditangkap juga ditemukan uang Rp400 juta dalam paper bag dan ada juga uang lain dalam satu koper tapi uang di dalam koper masih dalam perhitungan,” tambah Yuyuk.
Selain uang, KPK juga menyita mobil Honda Mobilo warna silver dan Toyota Camry silver dari penangkapan di Hotel Atria, Gading Serpong Tangerang.
Atas perbuatan tersebut, KPK menyangkakan Andri melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan kepada Ichsan dan Awang disangkakan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Ichsan Suaidi adalah Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) berbasis di Surabaya. Ichsan pada 13 November 2014 oleh majelis Pengadilan Negeri Mataram dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek pembangunan dermaga Pelabuhan Labuhan Haji di Kabupaten Lombok Timur dan dijatuhi pidana selama 1,5 tahun penjara dan uang pengganti Rp3,195 juta.
Putusan itu dikeluarkan oleh ketua hakim Sutarno dan anggota hakim Edward Samosir dan Mohammad Idris M Amin.
Perkara Ichsan yang divonis bersama-sama dengan Lalu Gafar Ismail dan M Zuhri berlanjut ke Pengadilan Tinggi (PT) dan diperberat menjadi vonis selama 2 tahun dan denda Rp200 juta.
Ichsan masih mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun majelis kasasi yang terdiri atas MS Lumme, Krisna Harahap, dan Artidjo Alkostar pada 9 September 2015 menolak kasasi yang diajukan dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun ditambah denda Rp 200 juta subsidair enam bulan penjara serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 4,46 miliar subsidair 1 tahun penjara.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan