Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Rumah Inspirasi Indonesia (RI 2) melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta, Rabu (28/11/2018). Aksi ini sebagai bentuk protes kepada KPK atas berlarutnya penuntasan kasus-kasus Pelindo II termasuk perpanjangan kontrak JICT-Koja kepada Hutchison Hong Kong yang terindikasi merugikan keuangan negara hampir Rp 6 trilun. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Beberapa waktu terakhir, pandangan masyarakat mengarah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bukan sekadar Operasi Tangkap Tangan (OTT), tetapi juga berkaitan dengan penanganan kasus-kasus korupsi yang terkesan lamban diselesaikan. Sejumlah massa dari Rumah Inspirasi Indonesia (RI2) pun pada Rabu (28/11), mendatangi gedung KPK menuntut agar KPK menuntaskan kasus-kasus yang terjadi di Pelindo II, salah satunya adalah perpanjangan kontrak Hutchison di JICT dan TPK Koja.

“Ini aksi kedua kami di KPK. Kami menuntut komisioner KPK segera menuntaskan kasus perpanjangan kontrak Hutchison di JICT dan TPK Koja,” ujar Adam Rumbaru, koordinator aksi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (2/12).

Adam menyampaikan bukti-bukti pelanggaran perpanjangan kontrak tersebut telah diungkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lewat audit investigasi dengan total kerugian negara Rp5,94 triliun.

Ditempat yang sama, Direktur Government Watch (Gowa) Andi Wahyu Saputra meminta KPK menindaklanjuti sejumlah temuan BPK terkait dengan kasus tersebut. “Dalam aturan, yang berhak menyimpulkan ada atau tidak kerugian negara itu BPK. Jika BPK sudah menyatakan ada ‘indikasi’ kerugian negara yang mana artinya memang ada kerugian karena bukan berupa ‘potensi’, maka KPK wajib menindaklanjuti. Jika KPK terkesan malah mendiamkan kasus-kasus besar seperti ini maka kepercayaan publik (terhadap KPK) akan turun,” ujar Andi.

Ditambahkannya, dalam kasus pengadaan tiga Quay Container Crane (QCC) yang menyeret RJ Lino sebagai tersangka, hingga saat ini belum juga dilakukan gelar perkara. “Padahal, penetapan status tersangka sudah hampir 3 tahun,” katanya.

Ditempat terpisah, anggota Pansus Angket DPR-RI tentang Pelindo II, Nasril Bahar, menyatakan lembaganya sudah meminta BPK melakukan audit investigasi perpanjangan kontrak Hutchison di JICT dan TPK Koja. BPK pun sudah menyelesaikan tugasnya dan menyatakan ada indikasi kerugian negara. Maka selayaknya lembaga penegak hukum seperti KPK, Bareskrim atau kejaksaan untuk melakukan penyelidikan.

“Penegak hukum harus menindaklanjuti apapun hasil akhir dari penyelidikan tersebut,” ujarnya.

Anggota Komisi VI DPR tersebut berharap kasus perpanjangan kontrak Hutchison di JICT dan TPK Koja menjadi pelajaran bagi pemerintah maupun para pengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai BUMN, Pelindo II harusnya mematuhi semua aturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga pola kerja sama yang melibatkan pihak lain hendaknya dilakukan secara transparan, melalui proses lelang yang benar, tidak asal tunjuk (unfair binding).

“Nanti Pansus akan memberikan kesimpulan akhir tentang kasus-kasus yang terjadi di Pelindo II. Apapun keputusannya ini akan menjadi catatan terhadap tata kelola BUMN agar tidak dikelola secara ugal-ugalan,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka