Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengundang Menteri Pertanian (Mentan) dan Menteri Perdagangan (Mendag) guna melakukan pertemuan pendahuluan terkait kajian tata kelola impor komoditas hortikultura dan kajian tata kelola buffer stock dalam penyediaan pangan pada Kamis (22/4/2021) lalu.

Kajian ini akan dilakukan di 2021. Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK bidang pencegahan, Ipi Maryati Kuding mengatakan, pertemuan tersebut untuk meminta penjelasan, data dan informasi yang dibutuhkan untuk memulai kajian tata kelola impor komoditas hortikultura dan kajian tata kelola buffer stock dalam penyediaan pangan.

“Informasi dan data yang dimiliki kedua kementerian tersebut tentu sangat penting mengingat kedua kementerian ini memiliki kewenangan terkait importasi dan pengelolaan pangan di Indonesia,” ujar Ipi, Senin (10/5/2021).

KPK telah mengidentifikasi kelemahan kebijakan tata niaga impor komoditas pangan strategis. Khususnya yang berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi dan mengidentifikasi kesenjangan (gap) antara kebijakan tata niaga impor pangan strategis dan implementasinya di lapangan.

“Untuk kemudian memberikan saran perbaikan terhadap kebijakan impor pangan strategis dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana korupsi,” paparnya.

Ipi menegaskan, kajian ini penting karena menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Apalagi kasus suap terkait dengan impor produk pangan dan hortikultura sudah beberapa kali ditangani KPK. Yang terakhir adalah suap pengurusan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementan dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag tahun 2019 atas kuota impor bawang putih.

Ipi mengungkapkan, hasil kajian KPK terhadap bawang putih menemukan bahwa persoalannya ada pada kebijakan swasembada bawang putih itu sendiri yang penetapannya melalui Permentan Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Dalam Permentan 16/2017 itu, Kementan mewajibkan para pelaku usaha/importir melakukan penanaman bawang putih di dalam wilayah Indonesia sebesar lima persen dari total kuota impor yang diajukan,

Masalahnya lanjut Ipi, Permentan tentang RIPH ini tidak optimal. Sepanjang 2017 sampai 2018, realisasi tanam RIPH hanya mencapai 38-39 persen. Ditambah konflik kepentingan importir, di satu sisi mereka dipaksa untuk menumbuhkan produksi dalam negeri yang jika berhasil tentu akan menggerus bisnisnya sendiri sebagai importir.

“Di sisi lain, sebagai importir, yang tentu orientasinya adalah keuntungan sebesar-besarnya, biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi wajib tanam bawang putih pada akhirnya dibebankan kepada konsumen melalui penyesuaian harga jual bawang putih,” paparnya.

Karena itu, sambung Ipi, hasil kajian bawang putih yang dilakukan KPK tahun 2019, merekomendasikan beberapa poin. Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi program swasembada bawang putih. Kedua, pemerintah membangun sistem integrasi data antar kementerian/lembaga terkait, yaitu Kementan, Kemendag, Kemenkeu, BPS dan Pemda.

“Ketiga, pemerintah melakukan evaluasi implementasi kebijakan post border komoditas bawang putih, terutama terkait pengawasannya,” jelasnya.

Sementara, Direktur Riset dan Program SUDRA (Sudut Demokrasi Riset dan Analisis), Surya Vandiantara mengatakan, yang menjadi sumber masalah terhadap tata niaga importasi pangan strategis adalah ketika pemerintah membuat aturan yang bisa memberikan hak eksklusif kepada beberapa importir tertentu saja untuk melakukan impor komoditas hortikultura. Aturan semacam ini harus segera dihapuskan, karena memberikan ruang bagi mafia rente untuk memperjual-belikan izin kuota impor.

“Penangkapan atas pelaku mafia rente impor komoditas hortikultura, seharusnya bisa dilakukan KPK hingga ke akar-akarnya. Tindakan rente ini dilakukan secara teroganisir dengan baik sehingga melibatkan berbagai tingkatan. Maka penting bagi KPK terus melakukan pengembangan kasus rente ini hingga tingkatan paling bawah, agar pemberantasan korupsi bisa dilaksanakan secara menyeluruh tanpa pandang bulu,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu