Jakarta, Aktual.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah empat bulan menangani kasus dugaan suap terkait pengesahan LKPJ 2014 dan APBD 2015 milik Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Pada kasus tersebut, KPK sudah menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Para tersangka itu yakni, Bupati Muba beserta istri, Pahri Azhari dan Lucianty Pahri, Ketua DPRD, Riamon Iskandar, tiga Wakil Ketua DPRD, Islan Hanura, Darwin AH dan Aidil Fitri, dua anggota DPRD, Bambang Kariyanto dari fraksi PDI-P, Adam Munandar serta Kepala Dinas DPPKAD, Syamsuddin Fei serta Kepala Bappeda, Faisyar.

Dari ke-10 tersangka, baru dua yang kasusnya sudah masuk ke tahap persidangan. Syamsudin Fei serta Faisyar resmi menjadi terdakwa dan diadili di Pengadilan Tipikor Palembang. Dua tersangka lainnya, Bambang dan Adam kini mendekam di balik jeruji besi, sambil menunggu penyidikannya rampung.

Sedangkan enam tersangka lainnya, Bupati Pahri dan Lucianty, serta empat pimpinan DPRD Muba masih dibiarkan berkeliaran di luar sana. Hal itu pun membuat banyak pertanyaan, khususnya terhadap penanganan perkara itu.

Menanggapi pertanyaan itu, Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji tidak gelisah. Dia menegaskan bahwa penanganan kasus suap tersebut masih berjalan, dan tengah dalam tahap pengembangan.

“Masih cari pengembangannya atas kasus ini,” tegas Indriyanto, kepada Aktual.com, Rabu (14/10).

Tak hanya soal penanganan kasus, pertanyaan lain ihwal penahanan ke-enam tersangka itu, juga muncul. Lagi-lagi, lembaga antirasuah tidak gusar. Indriyanto bahkan meyakini tidak akan ada hal menyimpang yang bisa saja dilakukan oleh ke-enam tersangka itu, termasuk penghilangan barang bukti.

“Kalau sudah ditetapkan sebagai tersangka berarti kami sudah memiliki minimum alat bukti yang diisyaratkan Undang-Undang kan. Jadi tidak ada kekhawatiran hal tersebut (penghilangan barang bukti),” tegas pakar hukum pidana itu.

Namun demikian, ketika disinggung ihwal pertimbangan penyidik mengapa belum juga menahan ke-enam tersangka itu, Indriyanto enggan menjelaskan. Dia lebih memilih untuk mengatakan, bahwa pimpinan belum diberitahu ihwal pertimbangan penyidik.

“Belum diinfokan ke kami (mengapa belum ditahan),” pungkasnya.

Kasus suap DPRD Muba terbongkar pada operasi tanggap tangan KPK pada Jumat 19 Juni 2015 lalu. Saat penangkapan empat tersangka, penyidik KPK menemukan uang tunai sekitar Rp 2,5 miliar dalam pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu dalam tas merah marun yang diduga uang suap.

Berdasarkan informasi, pemberian uang ketika itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya, DPRD setempat diduga sudah menerima uang dari Pemkab Muba pada awal tahun, atau tepatnya Januari 2015.

Jumlah uang yang diberikan ketika itu disebut-sebut tidak jauh berbeda dengan uang yang ditemukan KPK pada saat tangkap tangan. Dari pemberian Januari itu, 45 legislator disebut-sebut ikut kecipratan, dengan jumlah bervariasi.

Rinciannya adalah 33 anggota DPRD Muba masing-masing sebesar Rp 50 juta, delapan Ketua Fraksi masing-masing sebesar Rp 75 juta, dan empat pimpinan DPRD Muba masing-masing sebesar Rp 100 juta.

Uang pada pemberian pertama diyakini adalan dana talangan dari Bupati Muba, Pahri Azhari dan istrinya Lucianty Pahri. Uang itu diserahkan ke Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Pemkab Muba, Syamsudin Fei, kemudian didistribusikan ke pihak DPRD melalui seorang kurir.

Sementara untuk pemberian kedua (saat OTT), uang suap sebesar Rp 2,56 miliar diperoleh dari hasil patungan beberapa kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkab Muba, atas perintah Pahri dan istrinya, Lucianty yang merupakan politikus Partai Amanat Nasional dan anggota DPRD Provinsi Sumsel 2014-2019.

Pemberian pada saat operasi tangkap tangan itu juga disebut bukan yang terakhir. Kedua belah pihak, Pemkab Muba dan DPRD, sepakat untuk pembayaran ‘Commitment Fee’ pengesahan LKPJ 2014 dan APBD 2015 Pemkab Muda, dilakukan sebanyak empat termina, dimna nilainya disebut-sebut lebih dari Rp 17,5 miliar.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby