Jakarta, aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Wakil Direktur Utama (Wadirut) Bank Rakyat Indonesia (BRI), Catur Budi Harto, sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di BRI pada periode 2020–2024.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama CBH,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Rabu (10/9/2025).
Budi menyebut, Catur sudah hadir di gedung KPK. Namun, ia belum membeberkan materi apa saja yang akan digali penyidik.
Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Dirut PT Pasifik Cipta Solusi (PCS) Elvizar; mantan Wadirut BRI, Catur Budi Harto; mantan Direktur Digital, TI, dan Operasi BRI, Indra Utoyo (kini Dirut Allo Bank); SEVP Manager Aktiva dan Pengadaan BRI, Dedi Sunardi; serta Dirut PT Bringin Inti Teknologi, Rudy Suprayudi Kartadidjaja.
Kelima tersangka diduga memperkaya diri sendiri maupun korporasi hingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp744,5 miliar. Mereka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan pengadaan EDC Android BRILink dilakukan dengan dua skema, yakni beli putus dan sewa (Full Managed Service/FMS). Total anggaran pengadaan EDC 2020–2024 mencapai Rp942,7 miliar dengan jumlah 346.838 unit, serta anggaran FMS EDC mencapai Rp3,6 triliun dengan realisasi pembayaran Rp1,25 triliun.
Dalam kasus ini, Catur disebut menandatangani keputusan pengadaan EDC skema beli putus 2020–2023, sementara Indra Utoyo mengarahkan penggunaan EDC Android dan menandatangani izin prinsip anggaran. Dedi bertugas mengurus pengadaan, Elvizar menyediakan perangkat Sunmi, sedangkan Rudy membawa perangkat Verifone.
KPK juga mengungkap adanya penerimaan gratifikasi. Catur disebut menerima Rp525 juta dalam bentuk sepeda dan dua ekor kuda dari Elvizar, Dedi menerima sepeda senilai Rp60 juta, sementara Rudy menerima uang Rp19,72 miliar dari pihak Verifone.
Asep menegaskan, proses uji kelayakan perangkat sejak 2019 sudah diarahkan hanya untuk dua merek, Sunmi dan Verifone, sehingga vendor lain tersisih. Selain itu, penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) disebut menggunakan data harga yang sudah dikondisikan.

















