Jakarta, Aktual.co — Hiruk pikuk politik yang meletup akibat kisruh yang terjadi antara Polri dan KPK jujur saja membuat saya terpukul. Di saat kami di parlemen sedang berjibaku bertempur memutuskan kebijakan politik anggaran untuk nawacita, arus besar isu membuat keputusan-keputusan di DPR terkait APBNP 2015 seakan luput dari perhatian publik.

Saya bertugas di komisi kesehatan dan ketenagakerjaan. Komisi yang sehari-hari urusi kasus buruh dan TKI, tentu saja advokasi pasien yang ditolak dari RS karena tidak mampu. Raker dengan Menkes dan Dirut BPJS  berlangsung 9 jam, raker dengan Menaker dan Kepala BNP2TKI selama 12 jam. Pimpinan partai tetap menugaskan kami untuk tetap kritis dalam trek yang membuat nawacita tak sekedar janji kampanye, tapi betul-betul bisa dibumikan. Bukan perkara mudah, kadang ada hal-hal yang belum satu persepsi dengan para pembantu presiden di Kementrian dan Lembaga. Kami diingatkan untuk berkomunikasi dengan baik, kalau pun ada adu argumentasi harus berbasis data dan realitas lapangan.

Berbicara program bagi eksekutif dan legislatif tentu harusnya dipahami bicara tentang jalan politik, politik kesehatan, politik ketenagakerjaan, politik pendidikan, dan seterusnya. Tak boleh sekedar bicara teknis tapi kosong arah politik: ideologi yang jadi roh atas ide, konsep hingga implementasi dari kebijakan yang diputuskan.  Begitu pula dengan penanganan korupsi.

Bagi saya tetap kebijakan politik penanganan yang seperti apa yang digunakan harus jelas dan tegas. Namun, bukan berarti kasus korupsi dipolitisir jadi kepentingan orang atau kelompok tertentu. Politik sejatinya tak boleh personal. Politik adalah urusan publik. Maaf, jika saya harus katakan dari mulai urusan pemilihan Kapolri hingga “perang KPK VS POLRI” lebih banyak muatan personal, ketimbang urusan publik.

Siapa yang dikorbankan? POLRI, KPK atau Jokowi sebagai Presiden? Bukan tiga-tiganya. Korbannya tetap sama dari satu era kekuasaan ke kekuasaan lain: rakyat. Siapa yang paling rusak citranya? POLRI, KPK atau Presiden? Jawabannya sama, bukan tiga-tiganya, kalau seperti ini yang rusak adalah nama bangsa: Indonesia.

Rakyat dan bangsa sedang dipertaruhkan. Jadi, bagi saya “Selamatkan Rakyat dan Bangsa, Benahi KPK dan POLRI”. Bukan hal etis jika kedua belah kubu saling membuka kebobrokan, saling tuding, sampai hasil BAP kedua belah pihak yang “tertuduh” pun bisa beredar tanpa sensor.

Republik ini rechtstaat bukan machtstaat. Negara hukum bukan negara yang kuat yang kuasa. Benar salah proses hukum yang transparan dan penuhi rasa keadilan yang memutuskan. Sependapat dengan Presiden Jokowi (meski saya tidak setuju dengan kata “meminta”, mengintruksikan atau memerintah lebih tepat rasanya) sebagai Kepala Negara agar semua proses hukum terhadap hal yang dituduhkan kepada para petugas di kedua institusi tersebut segera dijalankan dengan obyektif dan sesuai undang-undang yang berlaku.

Jika boleh saya tambahkan harapan saya, kedua institusi harus kembali kepada rel tugas masing-masing sesuai undang-undang dan konstitusi. Hentikan arogansi dan ego sektoral. Jangan ada lagi pernyataan tanpa bukti dan tanpa proses hukum, tak boleh lagi ada penangkapan semena-mena. Termasuk juga pihak-pihak yang punya kemampuan menyelenggarakan konpers. Mohon hitung masak-masak bukan semata menyelamatkan diri masing-masing. Ini bukan ajang cari panggung. Pikirkan apa faedahnya buat rakyat, apa ada gunanya buat kemaslahatan rakyat. Kalau tidak ada, lebih baik diam kerjakan saja yang bisa berguna buat rakyat. Atau berdoa buat yang sedang berjuang, juga pasti besar gunanya bagi bangsa ini.

Tulisan ini sekedar harapan dan unek-unek saya, politisi yang berharap KPK juga POLRI bisa jadi dua institusi solid memberantas korupsi. Bukan jadi dua institusi yang saling tebas satu sama lain. Bersihkan kedua institusi dari tukang suap dan catut, juga dari makelar dan calo.

Tulisan ini sekedar curhatan politisi yang pekan depan kembali ditugaskan partai  bersama “serdadu lombok abang”  kembali bertempur di parlemen agar nawa cita jadi nyata, bisa memupus derita rakyat, tak sekedar slogan belaka.

Salam Juang

Oleh: Rieke Diah Pitaloka, Politisi PDI Perjuangan

Artikel ini ditulis oleh: