Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan pihaknya saat ini tengah merangkai potongan informasi yang diperoleh dari Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan istrinya Tin Zuraida dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait dengan Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Penyidik-penyidik kita punya keahlian untuk menyusun mozaik-mozaik potongan informasi itu, tapi kita tidak bisa dipaksa-paksa,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat ditanya mengenai perkembangan penyelidikan terhadap Nurhadi di Jakarta, Minggu (5/6).
KPK sudah memeriksa Nurhadi sebanyak tiga kali yaitu pada 24 dan 30 Mei serta 3 Juni 2016. KPK pun sudah memeriksa istri Nurhadi yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan MA Tin Zuraida dan dua orang pegawai rumah Nurhadi yaitu Kasirun alias jenggot dan Sairi alias Zahir pada 1 Juni 2016.
Namun Saut mengaku bahwa KPK masih dalam proses mengumpulkan bukti.
“Yang paling penting adalah mengumpulkan bukti itu, misalnya saya ngasih uang ke orang, mana buktinya? Di kasus-kasus yang kita dalami kan ada PPATK yang membantu kita, tapi kalau hanya pengakuan-pengakuan kalau ada tas yang dibawa, mirip dengan yang dibawa di situ, terus uangnya yang mana yang dikeluarkan, jadi tidak sesederhana itu pembuktiannya,” tambah Saut.
KPK sudah mengantongi laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menunjukkan transaksi mencurigakan yang ada pada rekening Nurhadi, Tin Zuraida dan supir Nurhadi bernama Royani.
Sepanjang 2004-2009, rata-rata arus di salah satu rekening Tin Zuraida mencapai Rp1-2 miliar setiap bulan. Sementara pada periode 2010-2011, ada belasan kali uang masuk ke rekening Tin dengan nilai Rp500 juta. Nurhadi juga terdeteksi pernah memindahkan uang Rp1 miliar ke rekening istrinya. Selanjutnya pada 2010-2013, Tin pernah menerima setoran tunai Rp6 miliar.
“Kami berpendirian kalau bisa ‘conviction rate’ kita 100 persen. Artinya orang-orang yang kita bawa ke pengadilan itu bisa sampai vonis, kalau tidak kita sama saja dengan dengan yang lain,” tambah Saut.
KPK sudah mencegah Nurhadi untuk bepergian keluar negeri dan menggeledah rumahnya di Jalan Hang Lekir pada 21 April 2016 dan menemukan uang total Rp1,7 miliar yang terdiri dari sejumlah pecahan mata uang asing yang diduga terkait dengan pengurusan sejumlah kasus.
Saat ini penyidik KPK juga masih mencari mantan supir Nurhadi bernama Royani yang sudah dua kali dipanggil KPK tapi tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan sehingga Royani diduga disembunyikan.
KPK menduga Royani adalah orang yang menjadi perantara penerima uang dari sejumlah pihak yang punya kasus di MA. Royani sudah diberhantikan oleh MA sejak 27 Mei 2016 karena tidak masuk kantor selama 46 hari.
Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan dua tersangka yaitu panitera/sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan pegawai PT Arta Pratama Anugerah pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap keduanya pada 20 April 2016.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK pasti akan menetapkan tersangka baru dalam kasus ini.
“(Tersangka baru) itu pasti dong, kalau dari pihak mana, bisa dari beberapa pihak kan? Bisa dari Lipponya, bisa dari teman-teman yang ada di MA (Mahkamah Agung), bisa saja itu terjadi,” kata Agus pada Kamis (26/5).
Dalam perkara ini, KPK baru menetapkan dua tersangka yaitu panitera/sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan pegawai PT Arta Pratama Anugerah pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap keduanya pada 20 April 2016.
Edy Nasution disangkakan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tengan penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara