Jakarta, Aktual.com – Ketua KPK Agus Rahardjo mengakui bahwa perjalanan untuk memperbaiki peradilan di bawah kendali Mahkamah Agung (MA) masih panjang dan butuh dirundingkan oleh banyak pihak.
“Perbaikan peradilan masih dalam diskusi yang panjang, (KPK) masih meminta masukan dari KY (Komisi Yudisial). Kita juga pelajari di banyak negara bagaimana hubungan antara KY dan MA, masih kita rundingkan dengan banyak pihak terkait,” kata Agus di sela-sela “media gathering” di Sukabumi, Minggu (21/8).
KPK menilai saat ini sistem “check and balance” di MA tidak berjalan.
“Check and balance tidak terjadi di MA, seperti (badan) pengawas di bawah Sekjen (Sekretaris Jenderal). Itu perlu dilakukan perubahan, tapi apakah administrasi dan penentuan hakim perlu dipisah dengan penanganan substansinya, masih jadi kajian kita,” tambah Agus.
Untuk melakukan perubahan, menurut Agus perlu ada kesadaran pribadi dalam tubuh MA.
“Tentu saja (perubahan) itu harus ada ‘welcome’ dari teman MA. Kekuatan yudikatif kan tida bisa dipengaruhi, harus ada kesadaran dari mereka untuk melakukan perubahan,” ungkap Agus.
KPK dalam di bawah kepemimpinan Agus sejak Desember 2014, sudah melakukan lima Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap aparat peradilan.
Pertama pada 12 Februari 2016, KPK menangkap Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Badan Peradilan Umum MA Andri Tristianto Sutrisna yang menerima suap Rp400 juta untuk menunda pengiriman salinan putusan Peninjauan Kembali (PK).
Kedua, pada 20 April 2016, KPK menangkap panitera/sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yang diduga menerima Rp150 juta terkait pengurusan dua perkara Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terkait perkara itu, Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dicegah bepergian keluar negeri.
Ketiga, pada 23 Mei 2016, Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang sekaligus hakim tindak pidana korupsi Janner Purba, hakim ad hoc Pengadilan Negeri Kota Bengkulu Toton dan panitera Pengadilan Negeri Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy ditangkap karena diduga menerima suap terkait penyalahgunaan honor Dewan Pembina RSUD Bengkulu tahun 2011.
Keempat 15 Juni 2016, KPK menangkap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi terkait penerimaan suap dalam pengurusan perkara pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh pedangdut Saipul Jamil.
Terakhir, OTT terhadap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Santosa karena diduga menerima suap terkait pengurusan perkara perdata pada 30 Juni 2016.
Sementara survei yang dilakukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) menunjukkan bahwa masyarakat sebagai pengguna layanan hukum dan layanan publik di pengadilan belum puas terhadap pelayanan yang diberikan.
“Perlu dievaluasi apakah MA sudah memeberikan pelayanan publik bagi masyarakat dengan baik sebagaimana terdapat dalam instrumen-instrumen kebijakan tersebut. MaPPI melakukan survei terhadap implementasi pelayanan hukum dan pelayanan publik pada 2014 dan 2016 dengan tujuan untuk mengidentifikasi apakah pengadilan telah memberikan hak yang sama dan dengan kualitas yang terbaik terhadap masyarakat dalam mengakses layanan di pengadilan,” kata peneliti MaPPI Aulia Ali Reza.
Pelayanan pertama adalah pada ketepatan waktu jadwal sidang di pengadilan sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Pelanggaran terhadap asas ini akan merugikan para pihak karena tidak segera mendapatkan kepastian hukum atas status yang disandangnya dan merugikan pengadilan karena harus terus mengeluarkan biaya selama perkara belum selesai diputus.
“Pada praktiknya, kami masih menemukan ada pengadilan yang tidak memiliki jadwal sidang sebanyak 21,43 persen dan pengadilan yang tidak memperbarui jadwal sidangnya sebesar 8,93 persen. Lebih spesifik, di tiap pengadilan negeri yang kami survei semuanya tidak memiliki jam jadwal sidang,” ungkap Aulia.
MaPPI melakukan pemantauan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk perkara tindak pidana korupsi. Hasilnya, sebanyak 15,4 persen persidangan menghabiskan waktu lebih dari 3-5 jam untuk satu kali pemeriksaan dan sebanyak 23,7 persen persidangan baru dimulai setelah pukul 14.00 WIB – pukul 17.37 WIB. Bila perkara menghabiskan waktu 5 jam dan baru mulai diperiksa pada pukul 17.30 WIB, maka sidang baru selesai diperiksa pada pukul 22.30 WIB.
“Ini menunjukkan ada inefisiensi dalam pemeriksaan perkara apalagi jika agenda pemeriksaan melibatkan banyak saksi yang harus diperiksa. Ketidaktepatan dan molornya jadwal sidang, disinyalir terjadi karena tidak berjalannya sistem penjadwalan sidang yang terintegrasi dengan jadwal maupun jumlah majelis hakim, penggunaan ruang sidang dan informasi pengubahan jadwal sidang,” jelas Aulia.
Selanjutnya, berdasarkan SK KMA No. 1-144/KMA/SK/I/2011, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapa layanan informasi di pengadilan. Namun pada praktiknya ditemukan adanya perbedaan perlakuan yang diberikan oleh petugas pengadilan terhadap pemohon informasi.
“Masyarakat awam hukum cenderung mendapatkan informasi yang lebih terbatas dibanding pemohon informasi dari lembaga tertentu, misalnya di PN Palu terdapat jurang sebesar 51 persen untuk ketersediaan informasi bagi masyarakat awam yaitu sebanyak 13 persen dibanding dengan ketersediaan informasi untuk lembaga swadaya masyarakat yaitu 64 persen,” tambah Aulia.
Uji keterbukaan MaPPI juga melakukan uji keterbukaan informasi dengan mengajukan permohonan untuk mendapatkan salinan putusan. Hasilnya, seluruh putusan dan penetapan pengadilan, baik yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) maupun yang belum BHT termasuk dalam jenis informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik. Namun masih ditemukan kesulitan mengakses dokumen tersebut.
“Survei kami menunjukkan sebanyak 45,61 persen permohonan hanya diberikan akses putusan yang sudah BHT dan hanya 29 persen permohonan yang mendapatkan akses untuk kedua jenis putusan, serta sebanyak 24,56 persen permohonan salinan putusan yang ditolak,” ungkap Aulia.
Persoalan lain adalah adanya pengadilan yang memungut biaya layanan untuk informasi yang bersifat umum karena terdapat 55,36 persen permohonan MaPPI dimintakan biaya oleh petugas pengadilan.
“Oleh karena itu, kami mendesak MA menjadikan pelayanan publik sebagai fokus pembenahan di pengadilan, mengevaluasi dan menerapkan praktek terbaik (best practices) dalam pelaksanaan pelayanan publik di seluruh pengadilan dan mendorong MA bekerja sama dengan lembaga lain seperti KPK, KY, dan Ombudsman dalam menyelesaikan permasalahan pelayanan publik di pengadilan,” tegas Aulia.
MA sendiri baru memperingati hari ulang tahun ke-71 pada 19 Agustus 2016 lalu.
Artikel ini ditulis oleh: