Jakarta, Aktual.com — Direktur Direktorat bidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Sujarnako menyebutkan, sebanyak 75 persen pelaku korupsi merupakan lulusan pendidikan tinggi yang menjabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten, Kota, maupun Provinsi.

“Menurut data ACFE (Association of Fraud Examiners) sebanyak 75 persen pelaku ‘fraud’ (termasuk tindak korupsi) di dunia dan bahkan 82 persen di Indonesia adalah lulusan pendidikan tinggi,” ujar Sujarnako yang mengisi “Workshop Pencegahan Korupsi di Indonesia dengan Peran Perguruan Tinggi dalam Pendidikan Budi Pekerti dan Agama” di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS), Rabu (9/9).

Dia mengatakan, faktor terjadinya korupsi antara lain faktor politik, hukum, ekonomi, serta organisasi. Sedangkan akar penyebab korupsi adalah krisis identitas dan orientasi kemanusiaan, kegagalan pendidikan, lemahnya kontrol dalam keluarga, aktualisasi agama terlalu normatif serta proses politik.

Menurut dia, ada sekitar 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau “in kracht van gewijsde” dari rentang waktu 2001 hingga saat ini jika diestimasi kerugian negara mencapai Rp168,19 triliun, namun jumlah uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp 15,09 triliun saja atau sekitar 8,97 persen.

“Dengan kata lain, masyarakat pembayar pajak Indonesia telah mensubsidi para koruptor karena uang Rp15,09 triliun itu pun sebenarnya belum benar-benar masuk ke kantong pemerintah karena baru berupa hukuman financial, sebab masih ada tahapan eksekusi oleh pihak kejaksaan untuk merealisasikannya,” ujar dia.

Selain itu, dia menambahkan masyarakat masih minim informasi tentang penjelasan pemerasan, gratifikasi dan suap yang kesemuanya tersebut masuk dalam materi korupsi yang dapat merugikan keangan negara apalagi dilakukan oleh pejabat negara.

“Suap merupakan transaksional, seperti masyarakat ingin semua urusannya lancar maka dia membayar uang pelicin kepada pejabat, sedangkan pemerasan biasanya oknum pejabatnya yang aktif kepada masyarakat walaupun tidak dengan cara kekerasan, sementara gratifikasi merupakan pemberian hadiah atau imbalan dari masyarakat kepada pejabat, meskipun prosedurnya sudah benar,” ujar dia.

Menurut dia, pengertian gratifikasi sesuai Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

“Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, selain itu setiap tindakan yang dinilai sebagai gratifikasi seperti apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.”

Di sisi lain, Chairman Association of Fraud Examiners East Java Region, Romanus Wilopo menyatakan menurut ACFE (Association of Fraud Examiners) kerugian negara pada tahun 2013 di seluruh dunia diakibatkan fraud atau “white collar crime” mencapai 3,7 miliar dolar AS atau setara dengan 30 persen dari uang rakyat dikorupsi.

“Mereka yang korupsi dikarenakan perilaku korupsi mereka menganut perilaku ‘living beyond means’ atau keserakahan mengambil lebih banyak dari yang diperlukan dalam hidup dan pola hidup hedonisme, sehingga ketika ada niat dan kesempatan maupun peluang mereka dengan mudahnya mengambil sesuatu yang lebih banyak dari sewajarnya,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu